
Pemikiran Charlotte Mason sejalan dengan semangat mengembalikan lagi tradisi yang menghidupkan jiwa, bukan hanya sekedar mencetak anak pintar.
Di tengah banyaknya teori-teori parenting yang berseliweran, serta kompetisi antar ibu, dan juga prestasi anak. Sekiranya kita perlu berhenti sejenak untuk kembali pada rel pendidikan, tujuannya apa dan arahnya bagaimana. Mencoba menelusuri kembali pada pendidik klasik yang secara struktur menggambarkan pendidikan adalah ilmu dan kehidupan. Di masa lampau, para pembelajar sejati bersungguh-sungguh dengan ilmu yang dicapai. Dahulu mungkin tak seruwet sekarang. Sehingga ketika kita menelusuri pendidikan di masa lampau masih banyak yang relevan dengan kehidupan modern saat ini. Karena yang diajarkan bukan hanya teknis tapi esensi dari fitrah manusia itu sendiri.
Aku berkenalan dengan pemikiran seorang pendidik yang bernama Charlotte Mason dari abad ke-19 , dikarenakan anak-anak saya pernah menempuh pendidikan Homeschooling yang kami kawal mandiri. Awalnya sering membaca tulisan blogger luar negeri. Aku pun mencari tau, apakah di Indonesia ada komunitasnya. Akhirnya ketemu komunitas Charlotte Mason Indonesia yang di gawangi oleh Bu Ellen Kristi. Aku pun kemudian beberapa kali ikut pelatihannya yang berkesan. Pelatihan yang pernah aku ikuti diantaranya Habits Trainer. Meski tidak aktif secara komunitas dan program-program keseluruhan. Namun, sampai sekarang aku masih sering membaca tulisan-tulisan yang terkait CM.

Dari berbagai macam metode, aku memang sreg dengan pemikiran Charlotte Mason. Apalagi bagi aktivis HS yang sudah menggeluti bertahun, Charlotte Mason (CM) sangat sejalan dengan pendidikan rumah. Pemikiran ini menyentuh pada nilai dan karakter, idealisme dan gagasan hidup. Bukan saja metode yang terbatas pada usia. Namun bisa dipraktikkan secara menyeluruh untuk keluarga. CM juga mengulas latihan bernarasi dan berpikir serta kebiasaan apa saja yang perlu diajarkan untuk anak. Memang membaca buku-buku Charlotte Mason ini butuh pelan dan berpikir karena bahasanya yang filsafat dan dalam. Bahkan jika sudah diterjemahkan pun harus dibaca setahap demi setahap. Ada 20 prinsip Charlotte Mason yang terkenal. Namun, kali ini aku hanya membahas 10 prinsip saja. Mari kita pelajari dan coba terapkan.
Kenalan dengan 10 Prinsip Charlotte Mason:
- Anak adalah pribadi yang utuh. Anak bukanlah kertas atau bejana kosong, yang diisi orang tua atau guru secara bebas. Namun, anak sejak lahir sudah memiliki kehendak, akal, dan emosi. “Children are born persons”, begitulah yang disampaikan CM. Anak memiliki martabat, rasa ingin tahu, dan kemauan/kehendak. Menurut penelitian neuroscience modern, anak akan berkembang optimal saat dihargai sebagai individu penuh.
- Pendidikan adalah atmosfer. Atmosfer yang dibentuk bagaimana menciptakan lingkungan yang pelan, alami, dan bermakna. Disiplin dalam mempertahankan dan mewariskan nilai dari kebiasaan seperti, makan bersama, mendengarkan alam, merasakan kehidupan, bahkan sekedar merawat rak buku yang sederhana.
Entah latah atau tuntutan, sekolah kebanyakan lebih fokus pada kurikulum, bukan lagi suasana. Seperti apa sih yang dimaksud suasana? Sebagian besar pendidikan anak terjadi secara alami dari lingkungan mereka tumbuh. Jadi, memang betul, rumah dan lingkungan memberi sumbangan pada anak tumbuh, tak semata-mata dari buku pelajaran. Intinya, pendidikan itu seperti bernafas, dihirup dan dirasakan. Keluarga, di mana ibu dan bapak pembentuk ide-ide pendidikan untuk anak. Mereka menyerap suri tauladan orangtua. Kebiasaan yang di jalankan, sopan santun orangtua. Serta benda-benda yang diletakkan di rumah, turut mempengaruhi anak.
Kehidupan Rumah sebagai Ruang Didik bersama. Di rumah anak menyerap tradisi dan warisan nilai yang ditegakkan orangtuanya. Rumah yang tenang, teratur, rapih, hangat, dan menginspirasi gagasannya (bukan tentang dekor yang update ya). Dari rumahlah pendidikan karakter banyak berperan. - Kebiasaan baik sebagai dasar karakter. Pendidikan karakter bukan berlabuh di ceramah-ceramah pendidikan atau workshop parenting, namun buah dari kebiasaan serta latihan sehari-hari.
- Pendidikan adalah ilmu tentang hubungan atau relasi. Anak tidak butuh tau banyak hal, namun terkoneksi dengan sebanyak mungkin hal: tentang alam, sejarah, sastra, musik. Melatih rasa, ikut merasakan dunia ini beserta kehidupannya. Terpisahnya pelajaran sekolah dengan penerapan di kehidupan menjadikan buku hanya berupa textual, tanpa makna.
- Pendidikan melalui ide-ide hidup, bukan hafalan fakta. Contohnya begini, anak lebih mudah menyerapi makna melalui kisah, anak di dorong untuk berpikir dan merasakan kisah tersebut. Narrative Learning ini mampu mengajak anak suka akan belajar hal baru maun bersemangat memberi solusi dalam slice kehidupan.
- Living Books adalah sumber utama belajar. Buku yang ditulis dengan cinta dan semangat tentu berbeda dengan buku paket yang menuntut anak untuk menghapal dan mengerjakan pilihan berganda. Dengan buku yang menggugah rasa dan nalar berpikir, anak juga merasa terpanggil untuk terlibat. Visisble Learning ini yang mampu membangun ikatan anak dengan kesuksesan akademik.
- Narasi menggantikan tes dan drill. Mason menyarankan agar anak mampu menceritakan kembali, bukan menjawab dengan pilihan ganda atau tes yang hanya mengukur ingatan jangka pendek. Sehingga dengan narasi ada proses berpikir dengan ikatan alami, ekspresi lisan, dan pemahaman mendalam. Ini perlu latihan dari hal kecil. Bisa di mulai dari satu paragraph yang di bacakan lalu di narasikan ulang. Tradisi lisan istilah ibu jaman dahulu.
- Pelajaran singkat namun konsisten lebih manjur daripada mengharuskan anak duduk diam selama dua jam. Berapa menit anak bisa konsentrasi ini berdasarkan riset attention span modern bahwa anak usia sekolah dasar hanya mampu memperhatikan dengan fokus berkisar hanya 15-20 menit per sesi.
- Eksplorasi alam adalah sekolah utama. Alam adalah sumber pengetahuan. Di alam inilah ruang belajar kehidupan kita. Bahkan alam juga mampu memberikan theraphy yang mujarab untuk kelelahan batin dan pikiran kita. Buku Last Child in The Woods adalah kritik terhadap krisis kemanusiaan di era modern ini.
- Pendidikan adalah untuk jiwa, bukan kompetisi. Ya, aku merasakan sendiri betapa kita di kelilingi ambisi dan kompetisi pendidikan. Bukan kolaborasi bagaimana mencari solusi kehidupan ini lebih baik, tapi bagaimana kondisi mendorong kita untuk lebih unggul. Sudah seharusnya pendidikan adalah untuk bertumbuhnya dan hidupnya jiwa yang berakar pada unsur ilahiah keTuhanan. Kalau dulu, di gerakan mahasiswa ada gerakan yang hidup yang mampu menggerakkan sesuatu yang terlupa, membangunkan kesadaran untuk bergerak, membawa misi di setiap langkahnya. Menyebarkan nilai untuk kembali menjalani hidup ini dengan lebih bermakna dan dengan ruh.
Menghidupkan Jiwa bukan sekedar retorika lip service saja. Inilah yang terlupa di diri kita, karena kita sibuk dengan gaduhnya kepala lupa mendengar diri dari dalam. Zaman sekarang terlalu mendesak kita untuk ambisi yang berlebihan, atmosphere informasi yang ramai yang sangat mudah diakses sepersekian detik dan terlalu tsunami saking banyaknya. Sudah terlalu sibuk lupa akan ruang sunyi di diri kita. Belum lagi muncul gejala kecanduan validasi dari luar, di perparah pula dengan rutinitas yang garing tanpa makna. (Tarik nafas) PR kita banyak ya…
Sekali lagi tak bosan aku mengulang kalimat, “menghidupkan jiwa itu menghidupkan sunnah Nabi kita yang lembut serta menghidupkan tradisi bijak masa lalu tentang kebajikan, tentang kembali pada makna di setiap aktivitas kehidupan yang sempat terlupa”.

Atmosphere bukan sesuatu yang kita ‘buat-buat’ untuk anak. Suasana pendidikan adalah hidup kita, rumah kita, nilai yang kita anut, serta kebiasaan kita. Anak menghirupnya setiap hari. -Terinspirasi dari Charlotte Mason