Hening yang Menyembuhkan, Belajar Hidup Tak Tergesa dari Kota Tua Bergen, Norway

Aku berjalan di gang sempit di sebuah kota tua Bryggen, Bergen. Udara saat itu sungguh menggigit, sekitar 5 derajat celcius, jaket yang ku gunakan pun dobel dua. Hujan gerimis halus menyapa pagi saat perlahan ku menikmati kota tua dengan bangunan tua warna warni pastel ikonik kota Bergen. Suara mobil tak terdengar berisik, suara teriakan pedagang pun hampir tak pernah ku dengar, saat warga Bergen berjalan pun pelan tak tergesa. Kami para traveler sebelum berangkat juga diingatkan untuk menjaga suara “slow down your voice” jika saat tiba di Negara Skandinavia

Menginjakkan kaki disini serasa penuh kehangatan hati, aku merasakan bahwa bangunan Bryggen tak hanya panggung ekspresi estetika di abad 15 tapi ekpresi dan simbol dari sebuah kehidupan yang teratur, fungsional dan status sosial, dilihat dari bentuk dan warnanya. Ditengah kehidupan yang terus berubah, warga Bergen berhasil mempertahankan warisan klasik seirama dengan kehidupan sekarang.

Ada suara dari dalam pikiran yang mengingatkanku akan rumah Nenek saat dulu aku masih kecil. Rumah Nenek terbuat dari kayu papan susun. Beda di warna saja, rumah nenekku berwarna putih pudar menuju abu abu. Dengan teras rumah lantai bawah dan atas yang luas. Aku pernah bertanya tanya dalam hati, kenapa rumah Nenek terasnya luas. Teras itu pun seringkali menjadi tempat berkumpul kami para anak cucu. Suatu hari aku ingin membangun rumah seperti rumah Nenek. Hingga kini, nuansa yang ku ingat dari rumah tua tersebut adalah suasana yang sepi yang menenangkan.

Kembali ke Bryggen, sebua kota pelabuhan yang kini menjadi situs warisan dunia UNESCO, tak sembarang renovasi diizinkan. Ada rasa hormat pada yang telah tiada. Dari sini aku pun belajar bahwa tak mengapa menggunakan barang yang lama, selama dirawat dengan penuh cinta, bukankah orangtua terdahulu menggunakan barang itu-itu saja selama puluhan tahun. Di zaman ini, kita mudah sekali tergoda dengan konsumerisme barang, segera mengganti segala yang tak sempurna, yang memudar oleh waktu, menggantinya saat sudah usang. Dari Bergen kita mengetahui bahwa keindahan itu tak selalu harus yang baru justru bagaimana kita setia merawat yang lama itu lah yang menyembuhkan jiwa.

Kita ingat-ingat lagi rumah nenek kita, apa yang paling teringat, hanya tentang ketenangan, aroma makanan, aroma tanah dan nyanyian sore. Mungkin untuk pulih dan benar-benar hidup kita tak perlu tergesa dan berlari. Dengarkan yang hening, rasakan yang sederhana. Justru disitulah jiwa kita berakar kembali.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *