Pepatah, Pengasuhan Calon Raja Tiongkok Zaman Dahulu

Bersabarlah sejenak, angin dan ombak akan tenang. Mundur selangkah,
laut dan langit akan luas -Pepatah Tiongkok-

Suatu hari saya menonton sebuah film berlatar belakang klasik peranakan. Film dengan cerita dari Singapura. Budaya Melayu pun masih lekat di Film tersebut. Campuran antara Melayu dan Tionghoa. Judulnya “The Little Nyonya Story”. Ada yang sudah nonton?

Yang saya lihat bukan jalan ceritanya tapi bagaimana sebuah cerita dengan 30 episodenya (jangan kaget, hehe) saya menontonnya full. Jarang sekali sebenarnya menonton Film dengan episode banyak, baik drama Korea maupun lainnya karena males sekali. Lebih seringnya saya membaca novel, berseri-seri pun rasanya sanggup. Adapun dulu Film kerajaan yang masih berkesan adalah “Jang Geum” dan beberapa Film kerajaan.

Film The Little Nyonya Story ini serasa dekat karena Singapur masih satu rumpun Melayu dengan Indonesia. Nama masakan kuno-nya saja masih sama. Inilah yang menyebabkan dari awal sudah jatuh hati bagaimana sebuah culture dan heritage bisa dikemas secara menginspirasi. Nuansa klasik tapi relevan pada kehidupan saat ini. Terutama bagaimana sebuah keluarga menjalankan tradisi dan etika berkeluarga dalam strata mereka.

Dalam Film Singapura ini tata busana pun diperhatikan dengan pakaian kebaya yang cantik dan manis, mengingatkan bahwa kebaya merupakan pakaian tradisi yang tak boleh dilupakan. Dialog mereka juga tak luput dari pepatah-pepatah Tiongkok, baik yang mereka pasang di ruang keluarga maupun yang di ucapkan dalam beberapa dialog cerita.

Tak luput juga penyebutan tradisi masak dan kuliner tempo dulu dalam sesi makan bersama. Penampilan para wanita yang menjadi pusat tradisi sangat kental sekali. Dari tradisi mereka yang turut memasak dan hormat pada etika di meja makan. Dalam pengasuhan pun beberapa episode menampilkan ibu yang menasehati anaknya dengan pepatah atau kata kata bijak.

Saya jadi tertarik menuliskan mengapa orang dulu tak banyak cerewet namun seringkali kata bijak mereka sangat didengar anak-anak. Sungguh tirakat orangtua zaman dulu bicara bukan sekedar lip service tapi ketulusan dan kesungguhan diperkuat dengan pengalaman yang menempa mereka. Kali ini saya akan mengulas pepatah Tiongkok, sebuah komunikasi yang masih relevan pada pengasuhan. Next saya akan menuliskan beberapa pelajaran lintas negara. Karena dengan menulis saya juga “dituntut” belajar dan membaca banyak.

Perjalanan seribu mil bisa dimulai dari satu langkah. -Pepatah-

Pepatah klasik Tiongkok diinternalisasikan pada kurikulum pengasuhan calon Raja Tiongkok:

  1. Menghafalkan pepatah klasik. Jadi dahulu para calon Raja wajib menghafal 500-700 pepatah/kata bijak utama (menurut literatur yang tersebar) tapi ini bukan angka pasti, namun tak hanya menghafal mereka harus mampu menguasai text-text literatur filsafat juga. Bukan hanya berupa hafalan kaku, tapi fleksibilitas dalam penerapan pepatah. Pelajaran tentang kebajikan dan kepemimpinan, maupun pengelolaan negara adalah prioritas saat itu.

  2. Mempelajari 5 pelajaran klasik. Apa saja itu? Ilmu tentang Kitab Puisi moral. Kitab Dokumen; Kisah tentang penguasa bijak. Kitab Perubahan; tentang filosofi dan strategi. Kitab Ritus; tata cara ritual dan etika sosial. Pelajaran musim semi dan gugur; sebuah catatan sejarah dan pelajaran politik.

  3. Belajar seni perang. Prinsip-prinsip strategis dalam perang, kalau sekarang masih relevan dengan strategi bisnis dan kepemimpinan politik.

  4. Belajar Filsafat. Dalam filsafat banyak sekali kata bijak yang bisa dijadikan prinsip kehidupan menuju jalan yang baik dan kebijaksanaan.

  5. Belajar dari Sejarah. Cerita sejarah bukanlah hal kuno, ia ibarat cermin bagi generasi sekarang untuk bisa menyelesaikan masalahnya. Karena siklus kehidupan akan berulang, meski berbeda wadah namun kedalaman makna di balik kisah akan abadi.

Lalu bagaimana metode pengajarannya…

  1. Menuliskan ulang apa yang sudah dipelajari. Menyalinnya hingga ratusan kali, jadi tak hanya hafal namun diselami saat dituliskan.
  2. Berdiskusi dengan Guru. Guru tak hanya mengajarkan satu arah namun membuka ruang diskusi penafsiran sebuah pepatah.
  3. Memberikan studi kasus sosial yang relevan dengan penyelesaian yang berakar dari pepatah.

Bahkan pepatah di era sekarang masih menjadi kearifan tradisional bagi rakyat Tiongkok. Saya membayangkan betapa kerja kerasnya mereka saat belajar, yang tercatat di sejarah tentang kehebatan, namun tentang kerja keras mereka saat belajar seringkali tak terekam dan tak terulas dengan lugas, hanya potongan adegan untuk penguat rasa.

Duhai diri, rasanya masih banyak PR buat pengasuhan dan pendidikan terhadap anak sendiri, rasanya kerja keras di era digital ini seringkali terlalu instan, lupa bagaimana menikmati “kesulitan” dan meresapi sebuah proses. Semoga ini menjadi salah satu inspirasi buat kita dalam membangun mentransfer nilai yang perlu kita ikhtiarkan sebagai tugas kita. Sandaran kita Allah, insya Allah dimudahkan.

Pepatah adalah identitas budaya, jangan berlagak modern padahal sebagian diri “hilang”, jangan pula terjebak ilusi eksistensi dari sosial media. Kita terkadang lupa arah, lupa dibalik pencapaian pasti ada kegagalan yang mengiri langkah. Di balik perjuangan ada luka yang bisa terhapus dengan hidup dengan kesadaran dan pelan dihayati.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *