
Dapur Tempo Dulu
Pernahkah merasa bahwa dapur adalah ruang hening seorang Ibu yang diam-diam menyimpan rasa rindu?
Apalagi seorang ibu yang harus merantau mengikuti suami dan berada jauh bermil-mil terpisah jarak dengan keluarganya. Terasa sekali kerinduan saat mencoba menghadirkan kenangan melalui masakan. Berusaha mencoba mengenalkan masakan daerahnya agar lidah anak-anak dan suami turut serta merasakan betapa nikmatnya makanan daerah tempat ia berasal.

Perpaduan rempah dan aneka bumbu menjadi citarasa tersendiri di masing-masing rumah. Bahkan sampai sekarang masih menjadi misteri dari mana asal mula racikan bumbu, karena hampir tiap negara berbeda cita rasanya. Ada negara yang tidak suka rempah, ada juga negara yang kuat dengan rempah. Barangkali leluhur kita merantau jauh untuk saling bertukar pengetahuan bumbu masak.
Bumbu-bumbu mengalami perjalanan panjang lintas peradaban, diramu, diceritakan, dan diwariskan oleh para wanita, petani, pedagang rempah, para tabib, dan pertukaran informasi sesama perantau. Bumbu-bumbu seolah bukan sejarah yang harus di catat, tapi sudah semacam udara yang di hirup, hadir sesuai berjalannya waktu.
Memang tak tercatat tapi mampu dirasakan sebagai wujud cinta para Ibu atau Nyonya Rumah sepanjang zaman. Tak lelah mengajarkan memasak melalui tradisi lisan dan hasil ujicoba di dapur, mereka dengan sabar mencontohkan pada anak-anak perempuan yang dahulu memasak adalah hal yang wajib.
Awal mulanya mungkin memasak bukan untuk memanjakan lidah namun bagaimana mereka bisa bertahan hidup dari segala cuaca dan medan kehidupan yang tak ramah. Karena awal mula bumbu ditemukan berasal dari penemuan arkeologi bahwa dahulu kala rempah digunakan untuk pengobatan.

Karena secara ilmiah, rempah-rempah berfungsi menghangatkan tubuh, antiinflamasi, antibakteri, dll. Lalu berkembanglah lintas benua termasuk adanya para pedagang dan penjajah. Tapi rasa masakan ibu lah yang paling teringat. Nah agar warisan lampau tak tergerus oleh zaman, setidaknya kita tetap memasak, entah dalam prosesnya masakan kita rasanya dari hulu ke hilir tapi bangkit dan tidak baper saat suami ga begitu bersemangat makan, dan bahkan penolakan yang terang-terangan dari sang anak. Hehe.
Pengalaman saya yang dulunya paling males ke dapur, lebih memilih beresin rumah, akhirnya setelah menikah mau tidak mau, merecall semua memori tentang makanan. Bertanya dengan aktif pada Ibu, browsing kesana kemari, bertanya pada ahlinya. Akhirnya ya bisalah dikatakan bisa masak, meski buka setara Chef, hehe.
Menyetok bumbu dasar bagi saya adalah hal yang wajib diusahakan agar saat waktu lelah kita tetap berada pada jalu “memasak makanan rumahan” kita efisiensikan waktu ditengah hidup modern yang menuntut kita multitasking. Membuat bumbu dasar dikala tenang tentu akan bermanfaat dikala sibuk. Sehingga ada alokasi waktu untuk menikmati membaca, bermain bersama anak, dan melakukan kegiatan yang membuat tenang penduduk rumah.

Kali ini bumbu dasar yang akan saya share adalah bumbu dasar khas Melayu klasik. Nah, jika ada yang ahli masak bisa dibantu kritiknya ya karena mungkin punya pengalaman yang istimewa dalam “riset” bumbu, jadi yuk bertukar informasi.
Resep Bumbu Dasar Khas Melayu Klasik:
- Bumbu Dasar Gulai Klasik (takaran untuk jumlah berat 300 gram)
Jenis masakan: Gulai ayam, ikan, kambing, nangka, telur, dll
Bahan:
Bawang merah: 100 gram
Bawang putih: 60 gram
Jahe: 25 gram
Lengkuas: 30 gram
Kunyit segar: 20 gram
Cabe merah keriting: 40-50 gram
Kemiri sangrai: 30 gram
serai 2 batang
Daun kunyit dan daun jeruk purut
Rempah utuh: Kayu manis 3 cm, 2 cengkeh, 2 Kapulaga, 1 bunga lawang
Cara: tumis hingga wangi dan simpan di kulkas atau freezer - Bumbu Tumis Harian
Jenis masakan: Segala tumis, mi goreng, nasi goreng dll
Bahan: Bawang Merah 150 gram
Bawang putih: 75 gram
Cabai merah: 20-30 gram
Terasi 1sdt
Tomat matang:1 buah
Minyak kelapa/minyak ayam (resep minyak ayam ada diberikutnya) - Bumbu Rendang Kuno
Jenis masakan : aneka rendang (rendang ayam, jamur, dll)
Bahan:
Bawang merah: 120 gram
Bawang putih: 60 gram
Jahe: 30 gram
Lengkuas: 50 gram
Kunyit segar: 15 gram
Cabe merah kriting: 80 gram
Kemiri: 25 gram
Serai: 2 batang
Daun jeruk & daun kunyit
Kelapa yang disangrai dan ditumbuk - Bumbu Asam Pedas
Bahan:
Bawang merah: 80 gram
Bawang putih: 40 gram
Cabe merah kriting: 80 gram
Asam jawa matang: 2 sdm larutkan air hangat
Jahe: 20 gram
Serai: 1 batang
Tomat tua: 2 buah
Daun kuyit dan daun limau
Sedikit gula kelapa.
(Tahan 1 minggu di kulkas versi matang)
Tambahan Minyak Ayam:
Bahan: Minyak kelapa, Kulit ayam, bawang putih, cengkih, biji pala, kapulaga, daun jeruk purut 2, dan daun salam.
Tips:
- Saat menumbuk bawang putih, berilah jeda 15 menit si bawang “bernafas”/istirahat
- Tumbuk bumbu hingga menyatu dan terlihat mengeluarkan minyaknya
- Masak bumbu hingga matang alias seperti karamel, pulen dan menyatu.
- Gunakan minyak kelapa/minyak ayam saat menumis
- Setelah bumbu di tumis dinginkan di suhu ruang, baru tutup rapat dan simpan dikulkas/freezer untuk waktu yang lebih lama
- Gunakan wadah per porsi sekali masak (sesuai kebutuhan) 40 gram bisa untuk 3 orang
Ditengah pertempuran masakan ibu dan makanan cepat saji serta mudahnya makanan hadir melalui aplikasi tanpa perlu menunggu lama seperti masakan Ibu. Perjuangan ibu saat ini lebih berat, dimana mereka harus berjuang antara keikhlasan dan menyediakan makanan tak hanya mengenyangkan tapi benar-benar enak dimakan agar tak kalah saing dengan makanan luar yang sudah ditambahkan penguat rasa. Ditambah pentingnya memberi kesadaran bahwa makanan tak “ujug-ujug” ada tapi melalui proses menanam dan memilah
Memasak bukan hanya sekedar teknik dan resep, lebih dari itu, memasak adalah doa-doa tak terucap, alunan sholawat , dan bentuk pengabdian seorang ibu pada Ilahi Robbi.