Slow Living ala Tempo Dulu: Warisan Nusantara yang Perlu Dihidupkan

Hidup pelan bukan sekedar nongkrong buang waktu, namun lebih bagaimana menyadari kehidupan, memaknainya, meluruskan kembali tujuan, dan menumbuhkan jiwa bersama teman hidup dan keluarga kita yang sudah menemani kita sejauh ini. Hidup diresapi dengan ritme lambat sudah menjadi kebutuhan, agar kita tak lupa akar kita.

Dunia saat ini begitu cepat dan kompleks sehingga membuat banyak orang kewalahan, hilang arah, kelelahan fisik maupun pikiran, antara bagaimana mereka bisa survive dengan keadaan yang kian tak menentu, juga sibuknya pikiran yang seringkali berjuang tetap sadar dengan berbagai pilihan ditengah banyak penawaran hidup.

Seorang pakar well-being Julia Hobsbawm menuliskan di buku “The Simplicity Principle: Six steps towards Clarity in a complex world” bahwa ada 6 langkah keseimbangan (mengapa 6 ? Menurut Hobsbawm angka enam adalah angka keseimbangan (sarang lebah memiliki sisi segi enam). Structure (menata hidup), story (narasi hidup yang bermakna), sukses (definisi sukses secara pribadi bukan standar dunia), space (ada ruang berpikir), scale (tak semua harus besar, namun kekuatan yang terukur) start(memulai langkah dari yang kecil). Baiklah, pembahasan ini mungkin akan di bahas di tulisan khusus review buku.

Dekade ini kita berlomba-lomba ingin menjadi “si paling update”, dari smartphone yang mulai menjadi gaya hidup bukan hanya sekedar bisa terkoneksi atau fungsional, lalu ramainya bermunculan platform sosial media dan belanja online di marketplace, ditambah kesibukan melihat dunia ini lebih luas. Dari segala penjuru dunia, info tentang apapun, gambar apapun bisa kita lihat dan cari tau. Namun, saat ini arus ingin kembali menjalani hidup melambat dan sadar mulai di kampanyeka. Termasuk blog ini adalah upaya menjadi blog yang membawa ingatan akan warisan akar kita. Semoga ya…

Meskipun bersusah payah setiap malam menulis, saya yakin, meski saat ini tak dibaca orang sekalipun tulisan saya. Bagi saya ini adalah cara saya mengatur pikiran dan menuangkan ide untuk menjalani hidup dengan gagasan yang membara serta hati yang berlatih lapang. Karena tradisi mencari literatur dan membaca di Indonesia masih rendah. UNESCO mencatat bahwa 1 dari 1000 orang Indonesia yang memiliki minat baca tinggi, masih membutuhkan tradisi literasi yang lebih lagi untuk mencapai sumber daya yang unggul. Termasuk yang menulis ini sedang berjuang membiasakan diri membaca dan menulis lebih rajin lagi.

Yuk lah kita bahas pelan, tentang Slow Living ala Tempo Doloe:

  1. Meracik dan Membuat Jamu Tradisional. Membuat Jamu meski terbilang “lama”, butuh kesabaran dari membersihkan rimpang yang bentuknya gemesin karena kecil, lalu memarutnya (yang kini bisa di blender), merebusnya lalu menyaring. Kini kita bisa menyingkat waktu dalam memasak jamu yang tanak. Aku tambahin bonus resep jamu di akhir tulisan. Hehe. Aku pribadi suka minum jamu, bahkan pernah mengambil kursus singkat cara bikin jamu dari yang ahli. Semua akan kembali ke tujuan kita. Jika tujuan kita kembali ke akar insya Allah dimudahkan. Oiya ada yang tidak suka jamu?

  2. Menyulam dan merenda, tak hanya menambah skill perempuan, menyulam dan merenda hingga saat ini masih menjadi sesuatu yang bernilai. Baik tentang latihan kesabaran dan ketenangan ditengah hidup yang tergesa. Menyulam memunculkan kebahagiaan batin khususnya wanita. Ada sensasi ajaib saat kita mampu menyelesaikannya. Sama halnya saat kita merapihkan rumah, ada sensasi tenang. Keduanya ibarat sedang mengajak kita untuk menata hati untuk hari esok.

  3. Menulis. Menulis disini bisa mengetik di device, atau pun menulis jurnal syukur di buku. Rasakan kembali betapa sensasi keteraturan di kepala kita pelan-pelan membawa hari lebih punya tujuan, ga hilang ditengah jalan. Menulis itu latihan melambatkan ritme.

  4. Menanam sayur dan tanaman obat. Entah berapa kali kebun mungilku, berganti tumbuhan. Ada yang tumbuhan yang bertahan dari awal, ada sayur yang sudah tak ditanam lagi, ada tanaman yang sulit tumbuh. Meski demikian, rasanya bahagia sekali punya tanaman baik sayur, daun aromatik, maupun tanaman obat. Meski bisa dikatakan tak ideal, tapi aku tak kunjung patah semangat dengan tanaman di rumahku. Dulu pernah menanam cabe kebanyakan, bener-bener kayak mau jualan tanaman. Namun saat berbuah cabe, dan dipetik ibu-ibu yang berkunjung ke rumah rasanya bahagia sekali. Begitu juga saat mau masak, inget petik-petik dulu daun jeruk di rumah. Sesederhana itu sebenarnya bahagia.

  5. Memasak bersama. Dulu, semasa aku masih kecil, di tradisi lingkungan Melayu, ada makanan khusus saat sedang berkumpul dengan sanak saudara, namanya Bubur Pedas. Menu kita mungkin berbeda-beda, tapi melanjutkan tradisi masakan saat berkumpul apalagi masakan yang penuh kenangan wajib kita wariskan dengan anak. Memasak bersama di keluargaku saat hari libur, hari kemerdekaan, hari keluarga jauh berkunjung, atau hari pergantian tahun, biasanya kami bebakaran jagung dll. Yuk, buat masakan tradisi yang bisa di masak barengan dengan keluarga kecil kita agar warisan jiwa kita tak hilang.

  6. Mengeringkan tanaman. Dahulu Nenek kita mengeringkan rimpang, cabe, bahkan biji-bijian agar bisa ditanam kembali. Saat ini , kita bisa mengeringkan daun telang, sereh, jahe, agar bisa diseduh saat pagi hari.

  7. Ngeteh dan ngopi di sore hari bersama keluarga. Sambil ngobrol ngalur ngidul, tentu saja tanpa gadget. Abaikan dulu HP, kita butuh ruang bersama di setiap harinya.

  8. Membuat bedak dingin dan lulur tradisional. Meski Saat ini sudah banyak yang jual instan. Tak ada salahnya kita mencoba membuat di rumah. Selain lebih hemat juga memunculkan pengalaman baru.

  9. Membacakan cerita rakyat atau kisah Nabi dan tokoh masa lalu. Selain momen ikatan hati dengan anak, bercerita sebelum tidur proses mewariskan nilai dan karakter untuk anak.

  10. Membuat kudapan tradisional. Aku ingat sekali dulu Ibuku membuat onde-onde, bubur kacang hijau, pisang goreng, singkong goreng, atau cemilan tradisional saat sore hari. Dulu, meski ibu saya kerja, sore hari sering bikin cemilan. Kalau diingat-ingat rasanya ada saja waktu Mama’ (Ibu) membuat ini itu. Pernah aku tanya ke Mama’, “Ma’ kok dulu sempat bikin cemilan sore hari”, Mama’ jawab, “soalnya dulu jauh dari orang jualan”, jawabnya sambil ketawa. Dulu susah sekali cari orang jualan cemilan sore hari. Tidak seperti sekarang, aneka cemilan apa saja ada. Tapi aku pribadi masih melanjutkan tradisi bikin cemilan sendiri. Jadi pisang kepok atau pisang raja itu selalu ada dirumah. Karena seringnya aku beli pisang, setiap ada yang jual atau panen, aku pun turut ditawarin untuk membeli.

  11. Zikir bersama, membaca dzikiran dan sholawat dengan kesepakatan waktu dengan anak-anak. Bisa juga datang ke majelis sholawatan, untuk recharge energi sekeluarga.

Oiya berikut resep Jamu Beras Kencur kesukaan anak saya ya, biar anak juga bertambah nafsu makannya:

Bahan:
Beras putih 50 gram (rendam minimal 2 jam atau semalaman lebih mantap)
kencur segar: 100 gram (Cuci bersihkan)
Jahe segar: 30 gram (untuk rasa hangat dan aroma)
Gula aren 100 gram (iris) GUla aren bisa di coba dulu, beda gula aren beda rasa
Gula singkong 1-2 sdm
Asam Jawa: 20 gram(larutkan dengan 50 ml air panas, saring)
Air: 800 ml
Garam: 1/4 sdt

Cara Membuat:
1. Rebus air dengan jahe, gula aren, dan garam hingga gula larut dan aromanya keluar, kisar 10-15 menit merebusnya. Angkat, dinginkan.
2. Tumbuk atau blender beras yang sudah direndam, termasuk kencur, dan air rebusan tadi dimasukkan blender hingga halus.
3. Tambahkan larutan asam jawa,blender lagi,
4. Saring dengan kain bersih atau saringan halus
5. Sajikan hangat atau dingin, simpan untuk 2-3 hari

Selamat mencoba ya….

Masih banyak lagi list ide Slow Living Insya Allah akan dilanjutkan kembali ya part 2 Slow Living-nya ala tempo dulu.

Pelan bukan berarti tertinggal, namun memilih untuk sadar dan hadir dalam setiap halaman kehidupan. Agar jiwa kita kembali bernafas dengan lega.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *