
Menjamu tamu tak hanya sekedar soal suguhan, ini tentang ritual kebaikan untuk memberi tempat di hati bagi teman-teman di halaman kehidupan kita.
Akhir pekan ini saya berkesempatan mengunduh/menjamu perkumpulan ibu-ibu. Ini mungkin kesekian puluh kalinya saya mengadakan acara dirumah. Dulu, saat masih baru memiliki anak dua yang saat itu usia masih 30 an belum punya terlalu banyak “tamu”. Ketika anak tiga dan menginjak usia diatas 40 barulah banyak sekali rasanya tamu. Saya pribadi bahagia sekali karena dari beberapa tahun yang lalu lebih sering tak menolak jika berkesempatan untuk menjamu acara dirumah. Bukan karena rumah saya megah dan mewah. Tak pula besar. Tapi lebih kepada bagaimana melanjutkan tradisi bahwa rumah sebagai tempat sebuah hubungan lebih hangat, lebih dekat.
Hampir tiap hari rumah ramai, terutama dipakai untuk berkumpul ibu-ibu yang belajar Al-Qur’an. Ada pengajarnya khusus. Lalu, seiring dengan bertambah usia, hadir semangat untuk menghidupkan tradisi jamuan rumahan. Sekedar catatan, bahwa dijogja ini tempat aesthetic itu banyak sekali. Coffee shop sangat menjamur, bahkan warung di mana jual aneka macam masakan tempo dulu pun banyak sekali. Justru karena itulah, saya merasa kurang leluasa. Apa yang kita cari saat berkumpul, adalah bertemu kembali tambahan energi, dan juga mengayakan jiwa. Tak hanya sekedar photo makanan dan photo kebersamaan. Apalah artinya berkumpul kalau kita tak juga saling mengenal. Sekedar formalitas sebuah hubungan.
Tapi, kalau di rumah kan, kita repot dan banyak sekali ube rampe yang harus disiapkan? Betul sekali, bahkan belum tentu kita punya peralatan makan yang memadai. Justru dari situ kekeluargaan terbangun. Saling menghargai, dan memahami bahwa sesuatu yang “tak sempurna” itu banyak kenangan. Makin kesini saya menyadari bahwa, pertemuan di rumah makan itu terkadang kurang “hangat”. Aku yang tipe meromantisasi hubungan pertemanan itu suka segalanya lebih dekat. Bahkan tak segan saya pun menyediakan ruang keluarga diakses agar tamu lebih nyaman (karena tak ada ruangan lain lagi, hehe).

Aku pun pelan-pelan belajar, dari merapikan rumah, membangun kepercayaan diri saat menerima tamu, belajar masak menyediakan makanan, melengkapi alat masak, alat jamuan, manajemen agar tak tergesa, dan juga etika serta estetika (table manner). Bagi saya prinsipnya adalah sederhana, manis, klasik, dan sentuhan hati.
Tips
- Hunting alat makan. Tak perlulah yang mahal, cobalah datang pada saat bazar keramik. Banyak sekali diskon disana. Aku pun memulai dari sebuah pameran rakyat (semacam stand-stand) di alun-alun Jogja. Aku lupa kidul atau utara ya, hehe. Ada sebuah stand yang menjual gelas lucu dan wadah makan lainnya. Tentu dengan harga miring. Dari situ pelan ngumpulin. Seiring waktu ada juga yang di declutering karena dirasa sudah saatnya di kasi ke orang lain. Lalu dulu itu ada seorang Ibu yang sudah sepuh menjual semua gelas keramik, piring dll. Karena saya liat klasik dan sudah jarang ada maka saya borong lah juga dengan harga miring. Tapi tetap saya pilah lagi seiring waktu apakah memunculkan kebahagiaan saat di pandang atau tidak. Hehe. Dan sekarang pun beli online sangat memungkinkan.
- Belajar masak atau bikin kue itu penting bagi saya. Ga apa-apa mungkin ga terlalu nendang. Tapi ada upaya di diri kita untuk menyajikan sesuatu dari tangan kita.
- Membuat rumah ramah tamu dengan nyaman. Nyaman itu tak harus mewah. Karena saya terbiasa dengan rumah yang plong, ga banyak furniture yang memakan ruang dirumah. Prinsipnya, kalau ruangan saya kecil, maka diperkecil/sedikit pula furniture-nya. Tak perlulah karena ingin update mebel terbaru maka jadi menyempitkan rumah. Ada kalanya kita mengikhlaskan barang-barang untuk membuat rumah kita “bernafas” kembali.
Manajemen
- Mempersiapkan rencana menu dan planing waktu untuk menyicil semua agar tak terlalu lelah di hari H. Membagi waktu untuk menyicil apa yang perlu di dahulukan. Apakah bersih-bersihnya ataukah membuat bumbu yang bisa kita siapkan agar tinggal masak sat-set saat hari menerima tamu. Menu yang dibuat pun yang sanggup di kerjakan oleh kita. Tak perlu mengukur tangan kita dengan tangan orang lain.
- Bersih dan merapikan. Menerima tamu sama dengan menerima berkah. Berkahnya kita jadi “deep cleaning” dan juga lebih jeli mana sudut rumah yang butuh perhatian lebih. Kalau ada tamu biasanya kita pun semakin semangat untuk declutering barang-barang.
- Membuat bumbu jadi dan menyicil memasak. Seperti ayam, kita bisa bikin beberapa hari sebelumnya, lalu di frozen. Snack bisa kita pesan atau bisa dibuat yang sederhana dan simple. Pesan yang ingin disampaikan adalah suguhan adalah bentuk cinta dan kasih kita.
- Membersihkan Toilet dan menyiapkan wewangian.
- Mengganti taplak meja dan sarung bantal kursi atau membersihkan tikar/karpet. Rumah itu tak harus mewah namun usahakan bersih dan rapi.
- Pencahayaan Lembut
- Hidangan terlihat estetik, tak harus mewah.
- Menyiapkan gelas, piring, sendok, dll
Filosofi Dasar
- Menjamu tamu adalah keberkahan buat tuan rumah. “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. (HR. Bukhori dan Muslim)
- Menjamu tamu bukan hanya terkait adab sosial tapi ini juga tentang keimanan. Bentuk akhlakul karimah.
- Menjamu tamu sebagai pendidikan karakter untuk keluarga. Ada adab menjamu yang diajarkan kepada anak, ada tata cara, dan ada pula latihan sopan santun berakhlaq baik
Etika:
SAmbut tamu dengan wajah cerah
Tidak mengungkit pemberian
tidak memperlihatkan keberatan
menyuguhkan minuman terlebih dahulu
menata makanan di piring dengan rapi
menata ruangan agar nyaman