
Plunyon Kalikuning. Kaki Merapi-Kaliurang
Hari ini aku menemani anak bungsu susur sungai bersama Jogja Adventure Kids dan Generasi Biologi. Sengaja aku mengikutkan anak untuk bersosialisasi dengan komunitas anak petualang. Tujuan kali ini susur sungai di Plunyon Kalikuning, Kaliurang. Menjadi viral setelah ada syuting desa penari. Ya, kita berharap bersama bahwa tempat wisata di kaki Merapi ini tidak rusak dengan sampah dan hal-hal yang tidak bertanggung-jawab.
Nah, setelah menempuh jarak yang lumayan jauh dari rumah kami sekitar hampir satu jam. Akhirnya sampai kami di lokasi. Sesampai di Plunyon, kami lanjutkan jalan kaki sekitar 15 menit menuju area sungai yang akan kita observasi. Melewati jalan aspal, semen, tanah, lalu jalan setapak, kita dituntut waspada terhadap jalanan yang dilalui karena tak semua jalur mudah ditempuh. Ada jalan yang kecil, berbatuan, dan tidak rata sehingga perlu kehati-hatian. Alhamdulillah, cuaca sangat mendukung, teduh tidak terlalu panas, karena didukung pula pohon-pohon yang melindungi para pejalan kaki. Sungai ini hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, adapun motor khusus penduduk lokal, namun sepanjang jalan hanya satu motor yang aku temui seorang bapak yang mengangkut rumput, untuk hewan ternak. Secara daerah Merapi ini juga penghasil susu sapi segar yang biasanya dibuat untuk keju artisan.
Ngomongin tentang sungai, tak lupa juga berbicara akar kehidupan sejak dulu kala. Peradaban Mesir pun dimulai di sekitar sungai. Menurut Charlotte mason, seorang pendidik klasik asal Inggris abad ke-19, percaya bahwa alam adalah guru utama bagi anak-anak. Dalam prinsip-prinsip pendidikannya, ia menekankan pentingnya kehidupan di luar rumah, “Never be within doors when you can rightly be without.” Menurut Mason, setidaknya anak bermain di alam 4-6 jam sehari saat musim baik. Meski terlihat bermain namun mengamati alam (burung, bunga, awan, pepohonanan), lalu membekali anak dengan buku nature journal, agar melatih perhatian, kepekaan, dan ketekunan. Bagi Mason, bermain di alam adalah kurikulum hidup, bukan hanya sekedar mengisi waktu luang.

Melanjutkan Tradisi Belajar Sungai
Ada istilah dari Richard Louv yang menulis Buku “Nature Deficit Disorder” tentang keterputusan anak dari alam di era modern ini. Keterputusan hubungan dengan alam akibat terdistraksi oleh teknologi. Anak mulai terisolasi dari alam karena padatnya kehidupan yang mereka jalani. Belum lagi ketakutan orangtua akan keselamatan saat bermain di alam bebas. Kurikulum pendidikan kurang mendukung pembelajaran di alam. Mereka fokus akan tes dan hasil nilai anak-anak hingga lupa pondasi dasar pendidikan, agar manusia bisa terhubung dan mengenal elemen kehidupan dari interaksi kepada alam.
Sungai sendiri adalah lambang dan guru kehidupan. Sejak dulu sungai mengajarkan anak manusia tentang makna kehidupan:
- Menyikapi waktu dengan bijaksana. Sungai tidak terburu-buru karena ia tau pasti ia akan sampai di muara.
- Kebermanfaatan tanpa pamrih. Ia memberi air, tempat bermain, bahkan jalur perdagangan. Tak pernah pun ia meminta balasan.
- Kesetiaan pada tujuan. Hakikatnya manusia memiliki misi di dunia ini untuk kembali kepada Ilahi Robbi. Seperti sungai meski berkelok kelok jalan yang ia tempuh, sungai tetap fokus menuju laut. Ia tau arah kemana ia menuju.
- Menghormati air, sehingga tidak menyia-nyiakan kehidupan itu sendiri.
- Bersyukur atas limpahan rezeki berupa keteduhan alam dan manfaat dari sungai
- Tidaklah mencemari alam dengan sadar. Meski alam diam, tapi alam tau kapan saatnya ia marah.

Alam adalah Ruang Didik Ruhani
Di alam anak belajar mengenal Robbnya dari ciptaanya yang terpampang. Begitu dalam dan misterius. Namun mereka meyakini ada Dzat yang Maha Besar yang menciptakan alam sedemikian indahnya. Dalam kitab suci Al-Qur’an menyebut pemaknaan air dengan kata lainnya seperti sungai 56 kali, laut 53 kali, mata air 66 kali, hujan 14 kali (digilib UINSA, 2017). Ini menandakan sedemikian pentingnya air yang dijelaskan dalam Kitab Suci agar manusia hormat pada sumber kehidupan makhluk hidup.
Saat kita di alam pun ada energi negatif yang kita lepaskan dan adapula ketenangan saat kita berada di alam. Sebab alam mampu menyembuhkan emosional dan meningkatkan rasa spiritual. Tanpa dipaksa mereka mengimani Tauhid, meyakini Tuhan. Tanpa retorika berlebih, hanya dengan hadir penuh mampu menumbuhkan jiwa.

Mengajak anak menjaga amanah Allah lewat sungai dan hutan. Inilah misi kita sebagai orangtua agar mereka tak lupa akan spiritualitas dari ayat kauniyahNya. Menumbuhkan karakter yang humanis dan membumi dari jalan setapak alam menuju ruang ruhani.
Manfaat Bermain di Alam bagi Anak
- Kesehatan mental. Anak yang sering diajak ke alam, cenderung memiliki resiko lebih rendah terhadap stress, kecemasan, dan depresi,
- Perkembangan fisik melalui penguatan otot dan tulang. Karena di alam kita berjalan dan berhati-hati sehingga meningkatkan koordinasi kaki dan otak.
- Konsentrasindan Fokus. Stimulasi alam membuat anak lebih tenang. Hijau daun melatih mata anak agar lebih fokus.
- Sosialisasi dan Keterampilan sosial. Anak aku saat tiba disana malu-malu. Masih saja nempel minta di gandeng saat berjalan menuju sungai. Saat sudah sampai di tujuan tempat meneliti hewan, anak sudah mulai menikmati dan sepanjang pulang menuju gerbang Plunyon sudah senang tanpa di gandeng. Dia cerita, ia juga mengajak ngobrol teman dan suka akan petualangannya hari ini.
- Vitamin D melalui sinar matahari tropis. Sinar matahari membantu produksi vitamin D untuk anak.
Berikut ini beberapa dokumentasi kegiatan hari Minggu kemarin. Semoga menginspirasi.




Mari kita melanjutkan tradisi pendidikan jaman dahulu membawa kembali anak-anak ke alam, ke sungai, ke rerumputan, ke suara gemericik, aroma tanah basah, dan aroma rumput di sore hari. Karena disana, ada pelajaran yang tak bisa diajarkan oleh layar-hanya oleh alam dan waktu yang kita luangkan bersama mereka.
Catatan kaki:
- Berdasarkan master thesis Ayat-ayat tentang air dalam al-Qur’an: studi tematik tafsir al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim karya Tantawi Jawhari. UIN Mohammad Subhan, 2016.