Swedia: Pengelolaan Sampah Berbasis Budaya Tradisional Nordik

Dari Stockholm Kita Belajar Mengelola Sampah

Tahun 2023 lalu saya berkesempatan menginjak tanah Nordik, Negara-negara Scandinavia. Stockholm salah satunya. Dari Finlandia (Helsinki) ke Stockholm kami (saya, suami, dan rombongan) menggunakan kapal feri. Kalau Feri di Indonesia tidak begitu besar, nah berbeda dengan Feri yang kami gunakan, ternyata sangat besar, dan ada “mall” didalamnya. Pengalaman menggunakan kapan Feri ini sangat berkesan bagi kami serombongan traveler Indonesia, menempuh 17-18 jam perjalanan menggunakan Viking Line, bisa sambil melihat alam swedia yang dingin dan tenang. Air yang jernih dan tata kota Nordik di sepanjang perjalanan memang sungguh Indah. Sekedar informasi buat yang ingin berkunjung ke Scandinavia, bisa sekaligus belanja ide di 5 negara alurnya bisa dari Norwegia-Finlandia-Swedia-Estonia-Belanda.

Cerita tadi sekedar meyakinkan bahwa memang Swedia itu bersih, tamannya terawat, dan langit biru masih terlihat. Tidak ada namanya polusi udara abu-abu yang terlihat menghiasi langit. Swedia memang sejernih itu. Jadi, kembali ke tema sampah kali ini yang kita ambil pelajaran dari negara Swedia yang sampah rumah tangganya kurang dari 1% berakhir di tempat pembuangan akhir. Bahkan Swedia importir sampah. Kok bisa? Karena Swedia menggunakan sampah untuk energi yang bisa menghasilkan listrik dan panas, mengingat negara Swedia memiliki suhu yang sangat dingin. Sehingga kebutuhan akan energinya sangat tinggi. Swedia mengimpor sampah dari negara Inggris, Norwegia, serta Italia untuk diolah menjadi energi.

Khusus di Stockholm, ada sistem automated waste collection yaitu sampah dihisap melalui pipa bawah tanah ke pusat pengumpulan dan juga ada aplikasi recycling station terdekat, jadi memudahkan warga untuk mengelola limbah sampah secara mandiri.

Prinsip Pengelolaan Sampah di Swedia

Ada prinsp yang namanya “waste hierarchy” atau hirarki pengelolaan limbah di Swedia. Semirip yang sudah dilakukan di komunitas sampah di Indonesia. Namun bedanya ada di regulasi dan kebijakan pemerintah Swedia serta gerakan sosial masyarakat yang saling mendukung.

  1. Pencegahan, dimulai dari edukasi ke warganya tentang keuatamaan hidup yang tidak konsumtif, serta membeli bijak. Warga di dorong untuk mengelola limbah sampah dari awal sehingga lebih bijak dalam mengkonsumsi sebuah barang atau produk.
  2. Penggunaan ulang. Ada yang namanya pasar second-hand store yang mengumpulkan barang bekas dari warga untuk kemudia dijual dengan harga terjangkau dan biasanya untuk dana sosial. Barang-barang nya juga ada yang vintage dan klasik. Hehe. Kalaulah tidak ada pembatas berat beban koper, rasanya ingin dibeli saja, tapi ingat, budaya setempat sangat cermat tentang menggunakan barang.
  3. Daur ulang. Sampah dipilah menjadi beberpa kategori(kaca, logam, plastik, kertas, organik, dll)
  4. Energi dari sampah, sampah residu yang tidak bisa di daur ulang digunakan sebagai bahan bakar.
  5. Pembuangan (landfill) adalah langkah terakhir. Bahkan Swedia hampir meniadakan pembuangan akhir.

Swedia itu tidak instan menjadi negara pengelola sampah, karena memang ada budaya dan tradisi yang di wariskan turun temurun tentang penjagaan alam. Sehingga gaya hidup agar menghasilkan sampah sangat sedikit itu sudah mengakar. Ada falsafah hidup di Swedia yakni Lagom, yang dimaknai hidup dalam keseimbangan. Konsepnya tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit, namun secukupnya saja. Filosofi hidup ini lah yang mendorong manusia Swedia untuk hidup tak berlebih, sederhana, efisien, dan tidak boros. Lalu sejak kecil anak-anak diajarkan berinteraksi dan mencintai alam. Saya jadi ingat sewaktu di Norwegia, melihat anak-anak (saat itu hujan) menggunakan mantel kecil berwarna kuning dan sepatu boot. Mereka dibimbing gurunya studi di alam. Prinspinya, bukan cuaca yang buruk tapi cara kita berpakaian saja yang harus menyesuaikan. Tidak ada istilah cuaca buruk bagi para orang tua disini.

Nilai-nila Budaya Kuno di Swedia yang Mendasari Cara Masyarakat Mengelola Sampah:

  1. Lagom, nilai untuk mengambil secukupnya, membeli dengan bijak, dan hidup sederhana selaras dengan alam
  2. Kesetaraan, jika masalah sampah, semua orang tanpa kecuali tetap harus dikenakan regulasi tentang sampah. Tidak pejabat maupun masyarakat, bertanggung jawab terhadap limbahnya.
  3. Mencintai alam, jalan-jalan di alam, berkemah, hiking, dll adalah tradisi yang memperkuat hubungan emosional dengan alam. Hidup dialam terbuka adalah tradisi kuno orang Nordik, dari yang mulai duduk-duduk saja di hutan. Alam harus di hormati. Semua orang bebas mengakses, hutan, danau, selama tidak meninggalkan sampah.
  4. Ada komunitas barter, dan second hand store serta repair cafe. Budaya ini masih hidup di masyarakat. Barang-barang lama tetap dirawat.
  5. Kesederhanaan , hidup hemat, bersih, dan bertanggung jawab. Tanpa berlebihan dalam konsumsi.

Budaya kita dari dahulu adalah selaras dengan alam, misal cara mengemas makanan dari daun pisah, lalu keranjang rotan, keranjan anyam, dan masih banyak dari akar-akaran yang bisa digunakan untuk membawa barang. Di Swedia sendiri banyak bermunculan kampanye “ buy less, choose well”, oiya pembayaran di negara ini juga cashless. Bahkan produk aseli Swedia seperti Ikea juga memproduksi dengan mengusung konsep perushaan berkelanjutan. Bahkan di Swedia menerapkan digital lagom, “tidak kecanduan gadget, tapi tidak anti teknologi

Not too much, not too little, just enogh. -Filosofi Lagom

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *