Minyak Kayu Putih: Tradisi Penyembuhan dari Pulau Buru, Maluku

Tradisi yang baik adalah nafas panjang kehidupan, yang perlu dijaga, dihidupkan dan diterapkan hari demi hari, agar ia tak hilang jejak ditelan waktu. Siapa penjaganya? Kitalah para perempuan, yang dengan tangan sederhana merawat warisan dalam dapur, dalam makanan, dalam keseharian. Sebab dari sanalah, ketulusan mampu mengikat generasi.

Tradisi Penyembuhan Pengalaman Pribadi dan Pulau Buru

Hampir setiap malam, di usia saya yang tak lagi muda, seringkali saat akan tidur maka saya minum air putih hangat dan tak lupa membalurkan minyak di leher dan pundak, serta perut. Tidak sedang sakit atau apa, tapi lebih merasa nyaman saja. Aromatik dan hangat. Setelah ritual cuci piring di malam hari dan membersihkan dapur dan ruang makan sebelum tidur, minyak aromatic menjadi andalan. Minyak yang sering saya pakai adalah minyak kayu putih. Sudah tau belum minyak kayu putih tanaman asli mana? Hehe, Ya benar, tanaman asli Pulau Buru, Maluku. Pertanyaan “di usia berapa kamu baru tau” tidak perlu saya lontarkan karena saya pun kalau ditanya demikian akan merasa tersudut. Maka saya pun akan tergugah, tidak kenal Indonesia-nya sendiri meskipun sudah berumur. Ha ha

Pulau Buru ini mencuat di obrolan dengan temen saya seorang dokter saat di perjalanan. Ceritanya kami sedang berbicara bahwa “kok gejala flu, mulai muncul lagi ya”. Penyakit Flu itu kan bersahabat kental dengan batuk. Jadi relate sekali dengan musim batuk di tahun 2025. Kalau saya andalannya ya bawang merah dengan seizin Allah sembuh. Bawang merang untuk gejala akan demam di awal sekali, saat badan gregesi (semacam ga enak badan), maka segera balur minyak bawang. Ini saya lakukan, untuk semua anggota keluarga.

Namun ada tradisi unik di Pulau Buru, kata teman saya, mereka menguapi diri dengan minyak kayu putih. Tradisi ini sudah turun-temurun di wariskan secara alami sebagai praktik pengobatan yang sudah beredar lama di masyarakat lokal. Tradisi beruap namanya, semirip dengan ditempat saya Kalimantan, yakni betangas. Bedanya betangas semacam ritual sebelum menikah, sedangkan beruap dilakukan saat ada penyakit atau kondisi sedang tidak enak badan. Tradisi ini khas Nusantara dan sudah menyebar di beberapa tempat. Istilah modernnya adalah Sauna. Ya, kalau diluar negeri namanya sauna dengan essential oil. Sebenarnya di Nusantara juga menggunakan minyak essensial/atsiri khas Indonesi, yang paling sering Minyak Kayu Putih.

Di Pulau Buru khususnya ditambah dengan daun sirih, kenanga, atau sereh. (Masing-masing daerah punya ciri khas tanaman). Ada yang belum terbayang gimana prosesnya? Karena saya di Kalimantan juga punya ritual yang semirip, jadi ada bayangan.

Proses Pengasapan atau Penguapan

Ga hanya daging yang di asap, manusia juga perlu pengasapan, ha ha. Selain bikin badan wangi, pengasapan/ penguapan mampu mengeluarkan racun dan melancarkan peredaran darah di dalam tubuh. Ini bener-bener pernah saya terapkan sebelum menikah. Penguapan ini tak cukup sekali tapi sepekan satu-dua kali sebelum hari-H. Kebayang ribetnya, tapi seru. Dahulu yang menjaga tradisi betangas ini Bibi adek Ibu saya di Kalimantan, karena hampir ponakannya di treatment dengan betangas saat akan menikah. Kalau di Kalimantan menggunakan air panas yang sudah dididihkan dengan daun aromatik maka di Pulau Buru menggunakan bara api.

Bara api tersebut dimasukkan ke tanah liat untuk kemudian ditambahi dedaunan dan di bara api tersebut di teteskan minyak kayu putih. Minyak tersebut akan menguap mengasapi orang yang duduk/ baring diatas atau di dekatnya. Nah nanti akan ada penutup kain tebal, atau tikar atau sesuatu yang tebal yang bisa menutup badan orang tersebut agar uap tak keluar. Biasanya ditambah minuman herbal dan di gosok minyak kayu putih. Nge-bayangin-nya aja enak.

Begitulah tradisi hidup kita, Minyak Kayu Putih ini adalah minyak hidup, anugerah untuk Pulau ujung Nusantara. Tuhan itu adil, masing-masing daerah pasti memliki sumber daya alam yang bisa menunjang hidup manusianya. Asal cukup mengambilnya, asal tetap di rawat. Maka Minyak Kayu Putih ini tradisi penyembuhan yang tak boleh hilang. Para perempuan penjaga tradisi dimanapun, semoga senantiasa diberi kesehatan, kecerdasan, untuk terus menjaga tradisi klasik mereka. Mari kita cek lagi sekitar tradisi mana yang baik buat generasi, maka jaga dan wariskan melalui praktek dan tradisi lisan. Hidup modern terlalu sibuk sehingga tradisi lisan pun kadang diabaikan untuk mengejar kebutuhan hidup sehari-hari. Saya pun yakin, para wanita klasik penjaga tradisi masih banyak di daerah dan pedesaan maupun di perkotaan.

Berterimakasih dan hormat pada para penjaga dan penyambung tradisi lintas zaman. Semoga kita pun demikian…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *