Tantangan Memasak Dulu dan Sekarang

Ada momen di mana aku menyukai memasak dan prosesnya saat menyiapkan makanan untuk keluarga. Dari meracik bumbu, memasak tak terburu, lalu menyiapkan dengan rapi. Aku suka moment berkumpul keluarga untuk makan bersama. Pada dasarnya aku suka memasak, apalagi saat masakan terasa enak dan semua anak serta suami menyukai. Dulu aku meragu untuk menyajikan masakan untuk teman suami. Padahal suami bilang “enak dan sangat layak untuk disajikan”.

Karena pernah dahulu aku membuat bajigur -minuman tradisional jogja yang bercampur santan dan kopi dengan irisan kolang kaling dan kelapa muda dipotong kecil. Saat membuat awal bajigur terasa enak dan meyakinkan. Maka, suami request minuman itu untuk acara pengajian. Namun karena aku lupa menakar buatan yang pertama, mengandalkan feeling. Namun yang terjadi adalah rasa bajigur kebanyakan kopi -masih bisa diminum tapi kolang kaling dan kelapa yang dipotong kecil-kecil sangatlah keras, jadi lengkaplah sudah. Usut punya usut ibu2 yang rewang saat pengajian belanja kelapa salah. Harusnya kelapa muda. Malah dibeli kelapa tua. Hiks. Rasanya kurang “perfect”. Sejak itu aku meragu saat membuat untuk disajikan. Khawatir saat buat konsumsi keluarga layak, eh pas waktu buat konsumsi orang banyak terasa kurang pas.

Apakah berhenti aku uji coba? Ngga, aku coba lagi dan lagi meski tak sempurna tapi sekarang kalau ada arisan atau pengajian aku sudah mulai cukup percaya diri untuk mengeluarkan masaka/minuman buatanku.

Aku jadi teringat bagaimana dahulu resep dan cara adalah warisan dari nenek lalu ibu untuk anak perempuannya dan seterusnya. Memasak adalah ritual para ibu. Jadi ada ungkapan bahwa istana perempuan sebenarnya di dapur. Jadi tak heran dapur jaman dulu itu besar. AKu masih merasakan dulu dapur Nenek (ibunya ibuku) dan Mbah (ibunya bapakku) cukup besar menjadi satu dengan ruang makan.

Aku jadi tergelitik untuk membahas tantangan masa lalu dan sekarang. Dulu mungkin para wanita memasak tak terburu. Memasak dengan bumbu aseli dari sediaan bumi. Tanpa tambahan MSG atau sejenisnya. Kini memasak banyak tambahan bumbu buatan pabrik. Jadi tak heran pernah suatu hari seorang teman bertanya padaku “Bu, kalau bikin masakan apakah pakai bumbu jadi (pabrikan)?” Aku pun menjawab “nggak, ini aku racik bumbu sendiri dari bawang merah, bawang putih, dan lain-lain”. Jujur, aku jarang menggunakan bumbu instan kecuali kalau pas kepepet. Dia pun cerita kalau memasak menggunakan bumbu bubuk instan. Selain murah juga bisa enak. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan. Tak bisa berkomentar karena ini bukan lagi perkara maemasak sebagai kebermaknaan, tetapi yang penting makan.

Karena memang tantangan masak masa kini adalah, para ibu bersaing meyajikan masakan enak, jangan sampai kalah dengan masakan luar. Dan juga tugas ibu semakin banyak, memasak, mengasuh anak, anter jemput anak, belum lagi urusan sosmed, hehe. Jadi memasak pun bukan lagi narasi budaya dan tradisi kewanitaan. Memasak bukan lagi sebuah riset ilmiah perempuan sebagai penyumbang khasanah kuliner nusantara. Memasak hanya sekedar menggugurkan kewajiban agar perut tak lapar.

Bukan lagi ajang kerukunan dan simbol kehidupan. Resep tak lagi jadi warisan tapi sekedar teknik memasak tanpa narasi kultural turun-temurun.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *