Dunia yang Bersuara & Ibu yang Diam untuk Kembali Mendengar

Tulisan di akhir Juni ini mengajak kita untuk lebih banyak mendengar, karena dunia terlalu bersuara lantang, suara-suara yang tak memantik ketenangan, namun malah ramai membuat diri ini terdistraksi dari fokus dan mendengar. Karena semua ingin di dengar suaranya namun tak mencoba mendengar. Aku jadi teringat dengan tradisi klasik yang dilakukan baru-baru ini di Jogja.

Tadisi tahunan yang unik yang dilakukan oleh Dalem Keraton Yogyakarta dan masyarakat umum , yakni melakukan kirab Tapa Bisu dengan mengelilingi Benteng Keraton Yogyakarta. Tradisi ini dilakukan setiap malam satu syuro atau pergantian tahun hijriyah -1 Muharram. Tradisi kuno yang sudah dilakukan sekitar abad ke 18 di masa Sultan Hamengkubuwono II, dan hal ini masih diwariskan hingga saat ini.

Tapa Bisu kalau dikaitkan masa sekarang masih sangat relevan, apalagi dunia saat ini begitu bising. Tapa Bisu membawa kebiasaan lama yang sunyi dan diam. Bahwa dengan laku diam, kita bisa kembali mendengar diri kita. Bagaimana tidak, keadaan zaman sekarang ini begitu ramai, dengan bunyi notifikasi, suara sound yang viral, lagu -lagu yang terngiang-ngiang terus saking seringnya kita mendengar di sosmed. Suara kegaduhan masa kini yang disebut para ahli information overload. Informasi yang membuat kita sulit mendengar batin kita. Kita cepat merespon notifikasi daripada suara nurani. Aku pribadi sudah lama mematikan suara notifikasi. AKu memegang HP saat aku merasa butuh saja.

Keadaan sekarang membuat kita senantiasa terhubung dengan dunia, sampai kita jarang terhubung dengan hal-hal yang penting; ketenangan batin, hubungan yang tulus dan isyarat alam yang seharusnya kita pahami. Tantangan kita Ibu masa kini untuk lebih banyak mendengar anak dan mendengar suara hati. Kita perlu menjaga sunyi yang menyuburkan makna. Maka kembalilah mendengar.

Menurut survey global ada fakta yang mencengangkan yang disurvey oleh salah satu perusahaan teknologi USA, bahwa rata-rata orang Amerika menyentuh layar ponsel (IOS) 2600 kali sehari. Menyentuh disini terkait tap, swipe, scroll, sentuhan jari jemari saat memegang HP. Menurut data, rata-rata orang mengecek HP 96-150 kali. Serta waktu screen time global 3-7 jam sehari. Inilah yang membuat saya, detoks hp sebulan sekali, dari yang tidak cek status prang, tidak pasang story, maupun tidak akses sosmed. Namun, beda lagi kalau suatu hari tuntutan kerjaan kita di sosmed. Bagaimanapun juga kita perlu memenuhi kebutuhan hidup kita untuk menghasilkan di sosmed bukan? Ini sudah menjadi tantangan kebiasaan sosial saat ini.

Namun, ditengah dunia yang bersuara kita masih bisa mengendalikan dimulai dari diri kita. Di mulai latihan fokus dan tidak terdistraksi. Kebiassan ini untuk mengurangi interaksi kita pada informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Sekali-kali isi otak kita perlu santai. Menerima informasi perlahan.

Ditengah dunia yang ramai kita diajak kembali diam untuk mendengar:

Dengarkan diri
Dengarkan bumi
Dengarkan Sang Pencipta.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *