Catatan Sabar dari Ibu Klasik dan Ibu Masa Kini

Sabar dan kelembutan tumbuh di ruang yang tidak bising, tanpa desakan yang terburu, tanpa hiruk-pikuk multitasking. Ibu zaman dahulu berpikir sederhana dan tidak tergesa. Tak ada yang perlu dikejar, kadang hanya butuh menarik nafas dengan tenang dan menikmati hening.

Menulis tema ini tentu saja bukan sebagai seorang ahli dan penasehat atau merasa “si paling mengerti” atau karena saya sudah fasih melakukannya. Namun justru tulisan ini saya buat khususnya untuk diri saya sendiri. Banyak Ibu yang mendambakan menjadi Ibu yang penuh hikmah dan kesabaran, namun situasi dan kondisi terkadang tak berpihak. Tak semua ibu menjadi Ibu pendengar yang baik untuk keluarganya, yang terjadi seringnya menarik kesimpulan dini dan pendapat yang terburu di lontarkan.

Hingga, yang terjadi antara ibu dan anak ada ruang berjarak yang tak kelihatan. Sering terjadi percekcokan, adu kekuatan atau adu retorika. Tak ada yang sempurna di dunia ini, masing-masing ibu mengalami ujian terhadap anak-anaknya sendiri. Orang lain melihat kita mulus-mulus aja hidupnya. Padahal diri kita sendiri merasa banyak sekali yang harus diperbaiki.

Anak yang dulu “bergantung” pada kita, lalu sekarang sering merasa kurang cocok dan menyadari banyak sekali luka batin yang harus kita sembuhkan antara ibu dan anak, termasuk suara kita yang mungkin terlalu tinggi. Hal ini bukan karena diri kita yang sepenuhnya salah, namun perubahan zaman, ritme hidup, kebiasaan, mulai memengaruhi anak-anak yang tak luluh dengan orangtua.

Alasan mengapa ibu dan anak tak luluh? Perbandingan dulu dan sekarang.

  1. Waktu sebenarnya ada, namun kehadiran kita yang tak lagi utuh.
    Zaman kini: Tinggal dalam satu atap, namun jiwanya tak selalu hadir bersama. Seringkali lupa dan tergesa saat bersama anak.
    Kenapa: Adanya gadget, multitasking yang mempengaruhi jiwa Ibu, serta tekanan pekerjaan di zaman modern, membuat kehadiran terpecah. Hadir, tapi pikiran bisa melalang buana.
    Ibu Klasik : Hadir sepenuh jiwa, baik saat memasak, menyuapi, atau menemani tidur. Mereka mampu menceritakan kembali kisah turun temurun.

    “Anak tak membutuhkan Ibu yang sempurna, namun bisa hadir penuh disisinya”

  2. Ritme Hidup yang Terlalu Cepat
    Zaman kini: Hidup dikejar deadline, waktu, dan target.
    Akibatnya: Anak menjadi “proyek” bukan lagi amanah. Percakapan bukan lagi pelukan, namun lebih sering perintah. Permainan tak sering tulus, namun mengejar target konten.
    Ibu Klasik: Punya waktu duduk lama di beranda, sambil ngobrol, mengajarkan sopan santun dan menyampaikan cerita. Dan tak perlu dunia ikut tahu dan “mendengar”

  3. Bahasa Hati Mulai Ditinggalkan
    Zaman kini: Bahasa anak dijawab dengan logika dan suara tinggi
    Akibatnya: Anak menutup pintu batin, merasa tidak dipahami, dan tidak didengar.
    Ibu Klasik: Banyak diam, namun hatinya bicara lewat masakan hangat, pijatan di kaki, dan lantunan do’a malam.

  4. Kurangnya Warisan Makna
    Zaman kini: Anak diajari sains, pekerjaan yang dinilai, dan keterampilan yang diujikan dengan target waktu, namun kurang terbiasa belajar makna hidup, ketenangan, dan cinta tak bersayarat.
    Ibu Klasik: Tanpa teori parenting “ndaki-ndaki”, namun anak tahu kehadirannya berarti. Mereka diwarisi nilai, tak hanya ketatnya aturan.

  5. Terputusnya Tradisi Berbagi Waktu
    Zaman kini: Kegiatan bersama semakin jarang, melakukan masak bersama, membersihkan rumah, atau membuat keterampilan bareng.
    Ibu klasik : kegiatan rumah tangga meski sederhana namun dilakukan bersama keluarga akan mampu membangun ikatan dan perasaan. Aku ingat dulu saat lebaran, gotong royong menganyam ketupat dan menunggu bersama saat ketupat dimasak.

  6. Anak Sebenarnya Rindu Didengar Bukan Diarahkan Maupun Dikomentarin
    ”Tuh kan, sudah ibu bilang juga apa”
    ”Wis, rasah lebay”
    Padahal bisa jadi yang disampaikan anak adalah agar ia dipahami dan terlihat wajar.

Karena tak bisa dibandingkan antara kondisi zaman dahulu dan sekarang yang sudah bergeser kebiasaan dan cara kerja sosial. Maka, yang perlu diambil adalah hikmah dan juga secara ilmiah alami cara kerja otak.

Tips Sabar dari Ibu Modern:

  1. Melatih Mindfulness dan self-Awareness. Ibu masa kini, mempelajari emosi sebelum meledak bisa dengan berlatih pernafasan. Journalling atau jeda sepersekian detik / 6 detik untuk merespon anak. Dahulu ibu klasik menyarankan “kalau marah duduk. Kalau masih marah, ambil air, kalau masih marah cuci kaki”. Tujuannya agar otak lebih tenang dan menstimulasi sistem saraf parasimpatis.

  2. Membuat aturan dan rutinitas yang konsisten. Peraturan ditekankan orangtua dan dipahami anak sehingga aturan bisa berjalan diantara kedua belah pihak. Dirumah kami anak yang kedua dan ketiga karena masih belum cukup usia memilah dan belum lulus kendali diri, maka tidak ada akses internet buat scrolling , games dll. Hp boleh dipakai saat hari sabtu atau minggu, untuk nonton bukan games. Alhamdulillah sudah berjalan di bulan kedua.

  3. Komunikasi dengan bahasa positif tak hanya berupa perintah. Ajakan bisa lebih menenangkan dibanding, teguran atau perintah.

  4. Belajar dari seminar parenting atau komunitas. Lingkungan sangat mendukung kita untuk bisa memunculkan motivasi dari dalam diri.

  5. Upgrade diri dan me time. Ibu juga perlu meningkatkan pergaulan dan wawasan dengan sesama teman atau komunitas yang saling mendukung. Tak perlu banyak, namun kita cari yang bermakna.

  6. Bangun kebiasaan “Grounding”. Ibu dahulu tak ada istilah begini, namun mempraktikkan dengan menyapu halaman, menyiram tanaman, tidak beralas kaki, lalu menyapa tanaman.

  7. Berlatih nafas. Tarik nafas 4 detik, tahan 7 detik, buang 8 detik.

  8. Merapal kalimat, “ya Allah, bantu hamba, ini amanahMu, ini anakku yang masih kecil, bukan lawanku. Ia masih belum mengerti. Tangannya yang dulu mungil sering aku elus. Hatinya masih halus”.

  9. Detoks gadget. Saat bersama anak, atau anak sudah pulang sekolah usahakan jangan pegang gadget.

Anak cepat membesar, hidup tak selamanya bersama anak. Hidup terlalu singkat dengan bentakan dan suara tinggi. Mendidik adalah misi seorang Ibu dan ladang amal, bukan ajang pelampiasan. Dahulu Ibu tak banyak kata, tapi sabarnya membalut luka. Kini kita mungkin terlalu banyak bicara, tapi lupa untuk mendekap.

“Ya Allah, jadikan lidahku penuh kelembutan dan hatiku lapang seperti tanah yang menumbuhkan”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *