Hustle Culture vs Slow Living

Kembali ke akar adalah kembali ke tradisi yang bermakna…

Hustle Culture: Fenomena Kelelahan terhadap Kehidupan yang Serba Cepat dan Padat

Hayuk kita urai kembali budaya Hustle Culture yang terbentuk ratusan tahun belakangan ini. Apakah kita ada yang mengalami, kerja tanpa batas waktu, tidak ada waktu beristirahat, produktivitas jadi identitas, pola pikir kalau sudah sukses baru istirahat, atau terbiasa dengan multitasking? Kalau pernah merasa di fase ini, selamat kita baru saja berkenalan dengan Hustle Culture? Seringkali kita dengar istilah ini, yakni sebuah fenomena bekerja keras tanpa henti. Workaholic istilahnya yang sering kita pakai kalau ada seseorang yang tiada henti bekerja. Fenomena ini terasa di masyarakat perkotaan. Budaya kerja yang menuntut kinerja yang terus menerus hingga hasil maksimal. Jika kita tak kerja keras, taruhannya adalah kehilangan pekerjaan. Pekerjaan adalah yang utama di masyarakat urban karena biaya hidup yang tinggi, pendidikan yang tidak gratis, tanah yang mahal, tak ada jaminan sosial, ditambah lagi gaya hidup mengalihkan konsep hidup seutuhnya. Untuk siapa kita hidup, untuk tujuan apa?

Ada sebuah keyakinan yang tertanam bahwa bekerja keras adalah koentji kesuksesan. Belum lagi ketambahan buku-buku motivasi tentang pengembangan diri yang di gegas dengan tergesa dan target sukses yang bersandar pada standar utilitarian. Makhluk apa lagi ini? Ha ha. Standar utilitarian, sebuah paham bahwa tindakan harus menunjukkan hasil untuk manfaat yang menguntungkan dan banyak, namun mengabaikan niat dan bahkan moral itu sendiri. Bukankah tindakan manusia tidak selalu bisa diukur dengan hasil akhir?

Misal, dalam pengasuhan, seorang anak diminta orangtuanya atau di dorong gurunya untuk ikut club sepakbola atau club robotik dikarenakan muncul minat dan “terlihat” bakatnya, lalu muncul pula gagasan supaya bisa diikutkan lomba. Mau ikut kelas apapun yang ada dibenak kita sebagai orangtua maupun guru adalah “supaya”, supaya menang, supaya nambah nilai, supaya tampil, dan supaya-supaya lainnya. Padahal, ikut aktivitas tambahan diluar jam sekolah bukan tentang “akan mendapatkan apa” namun gimana agar kita bisa menikmati proses belajar tersebut. Tak apa-apa jika tak ikut lomba, tak harus juga agar bisa menghasilkan. Kita mendorong anak belajar agar anak bertumbuh akhlak baiknya, kuat karakternya. Ya kan?!

Aku juga menulis ini dengan membawa kritik sosial, sedikit flashback ke awal mula inovasi dunia barat yakni Revolusi Industri di Eropa sekitar abad 18 dan 19. Dimulainya pergeseran budaya dan perlahan mengubah wajah hidup manusia. Manusia mulai merasa modern jika bekerja di industri atau pabrik. Masih ingat kan film barat yang mengambil latar kereta api dengan asap mengepul. Berbondong-bondong pindah menuju area dimana sebuah pabrik didirikan. Tak ada yang salah saat itu, manusia juga membutuhkan kemajuan. Nah, kembali ke saat ini, dari industri menuju kemajuan teknologi yang sering membuat kita terditraksi namun banyak pula membantu kehidupan kita.

Jika dipikir-pikir sudah berapa lama kita terjebak di rutinitas “screen time”? Kita bahkan cukup kelelahan dan kewalahan menolak pergeseran kebiasaan masyarakat modern saat ini, yang tak bisa pisah jauh dan lama dengan HP. Sehingga, banyak tradisi dan akhlaq dalam beragama dan nila-nilai yang bermakna dalam keluarga mulai luntur. Belum lagi, budaya pegang HP ini semakin memperuncing ruang individual kita. Betul, tak semua negatif, ada pula positivenya , tergantung pada individu tersebut yang mengontrolnya. Tapi apakah bisa kita mengontrolnya dengan baik? Apakah kita sudah pelan-pelan sadar, bahwa kita seperti masuk ke sebuah jebakan tak kasat mata? Siapa pula yang bisa mengontrol perubahan budaya yang terlalu cepat ini dikarenakan tekhnologi? Bukan tekhnologi yang salah, bukan pula kecepatan. Dengan tekhnologi kita banyak terbantukan, dari penghasilan, pekerjaan, pengetahuan, dan kebiasaan-kebiasaan baru bahkan profesi-profesi yang dulu mungkin tak ada. Dengan tekhnologi pula kita mengetahui adanya gerakan perlawan melawan budaya Hustle Culture ini. Ya, dunia ini akan mengembalikan kita pada seberapa mampu dan kuatnya kita memilih.

Slow Living: Kesadaran Hidup untuk Lebih Bermakna

Setelah ratusan tahun, arus balik ke kehidupan pelan dan sadar mulai muncul dan mempengaruhi pemikiran kita. Lambat laun juga muncul gerakan perlawanan terhadap Hustle Culture ini. Slow Living diantaranya. Namun, slow living ini pun bergeser makna dasar menjadi visualisasi budaya ngopi estetik dengan tampilan video estetik. Apa makna dasarnya, budaya kembali ke ritme kampung, ritme alam, dan keseharian dasar hidup manusia dari bangun hingga tidur lagi. Apa saja yang hilang? Sebuah ruang kebersamaan dan menyadari aktivitas (ritme kehidupan) yang sudah mengakar di keluarga sejak dahulu kala tapi hilang akibat kesibukan. Jangan sampai slow living pun bergeser hanya sekedar gaya hidup yang hanya cocok oleh kalangan kelas menengah.

Adapun gerakan perlawanan ini adalah:

  1. SLow Living, kehidupan yang tak terburu-buru. Kehidupan yang diresapi dan diambil hikmah serta pemaknaannya. Kembali kepada ritme alami tubuh dan bumi
  2. Queit Quitting. Bekerja secukupnya saja, namun menjalankan hidup dengan sepenuh hati
  3. Homemakin revival, mulai muncul kesadaran menikmati mengurus rumah dengan hati dan makna. Ruh keibuan pun mulai dimunculkan kembali dalam sebuah gerakan sosial.
  4. Detoks teknologi: HP, laptop, dan koneksi internet. Mencoba mulai mengendapkan ilmu dan informasi yang sudah didapat, lalu meredakan ketergantungan dengan layar. Saya sebulan sekali detoks HP, dimana saya tidak ada aktivitas, nyetatus story, maupun berlama-lama chatting. Saya akses HP seperlunya. Tidak ada scroll. Coba deh, ini membuat hidup lebih tenang dan bahagia.

`Dunia yang dulu bisa di lihat secara langsung, dirasakan dengan semua organ tubuh kini cukup dipahami melalui layar gadget. Apakah diri kita rela tetap di arus hustle culture?

Dunia cepat memang tak bisa kita salahkan, tapi kalau sudah mulai membuat kita kehilangan diri kita sendiri, kita pun berhak untuk mengerem. Mulai kembali ke ritme pelan, karena kita bukan sedang lomba. Kita hanya perlu kembali ke akar.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *