Kenangan Saat Mengajar di Sekolah Terpencil

Setiap langkah menuju sekolah di nun jauh disana, aku teringat do’a dan harapan yang aku suarakan dalam hati. Semoga anak-anak murid tumbuh menjadi kuat dan memiliki ilmu dan pengalaman keterampilan untuk menjadi manusia bermanfaat, entah bagaimana caranya Allah menunjukkannya.

Sewaktu aku masih berusia remaja (baru fresh graduate) dan masih di Pontianak, Kalimantan Barat, aku pernah ditawarin mengajar oleh salah seorang pengurus yayasan. Namun beliau menyampaikan ini sifatnya bukan bergaji standar hanya sosial, di daerah yang jangkauan menuju sekolah cukup jauh, sekitar 6 km dari jalan utama dan sangat terpencil. Sebenarnya tak terlalu jauh jika jalanan bagus. Nah, tantangannya disini, hanya sekitar 500 meter jalanan sudah di semen. Sisanya masih jalanan tanah. Kiri dan kanan tersebut hamparan sawah, jarang sekali rumah-rumah. Bisa dibilang hampir tidak ada. Adanya pondok kecil tempat petani istirahat dari rasa lelah. Lebar jalanan hanya bisa dilewati motor-atau sepeda, karena memang tak terlalu besar.

Masalah timbul kalau pasca hujan, akses jalan menuju sekolah sangatlah becek, basah, dan bisa membuat motor terpeleset bahkan kepater. Sehingga setelah lewat 500 meter, jalanan berubah menjadi area “pertempuran”. Aku harus jalan kaki sambil menuntun motor sepanjang jalan 5.5 km an. Terkadang ada kalanya bisa dinaikin motornya sebentar. Jangan ditanya pegelnya minta ampun. Sekolah tersebut berada ditengah “hutan”. Setelah area sawah hampir habis, muncul banyak pepohonan. Suasana memang rimbun. Dulu aku tak merasa “khawatir” ya lewat sana. Meski kalau diingat-ingat sekarang ini rasanya cukup mengerikan, hehe.

Sesampainya di sekolah yang terbuat dari kayu ini, suasana sekolah biasanya sudah sepi karena anak-anak sudah masuk ke kelas. Jumlah murid disini tidak banyak. Diampu oleh kepala sekolah wanita, yang memang mulia sekali hatinya. Aku ingat penampilan dia yang “tomboy” namun aselinya dia sangat baik. Meski dia galak, namun sekolah ini masih tegak berdiri saja aku sangat respect padanya. Tak mudah loh mendampingi sekolah ditengah “hutan” tanpa biaya yang memadai. Ini benar-benar sekolah di alam, hehe. Terkadang sempet berpikir ini murid datang dari mana? Ternyata memang dari mana-mana murid yang kurang mampu sekolah. Dan jarak tempuh rumah sekolah juga sangat jauh. Sekolah ini gratis, cukup dibayar dengan sayur mayur dan apa yang dipunya saja.

Di kepalaku samar sekali tentang seragam mereka, seingatku ada yang pakai seragam usang ada yang tidak pakai seragam dan tak bersepatu. Karena memang kejadiannya sudah sangat lama, hampir dua puluh tahun. Kalau mengajar disini harus ekstra sabar. Oiya aku mengajar Bahasa Inggris. Mengajar disini harus sabar dan perlahan karena daya tangkap mereka rata-rata lama. Tapi kalau urusan alam, mereka sangat jago.

Pernah saat jam istirahat atau sesudah mata pelajaran saya, maka anak-anak akan nyemil buah kelapa sawit yang berwarna orange. Aku dipaksa makan sama mereka, “ayok bu coba, ini enak” katanya, sambil mereka lempar buah kelapa sawit ditengah kayu bakar. Ini beneran enak loh, rasanya gurih, dan lemak. Ha ha ha. Kata emakku saat aku cerita pas pulangnya, “jangan banyak-banyak ngemil buah kelapa sawit, bisa bikin gemuk”. Hehe.

Selain itu setelah pulang sekolah kami guru di masakin sayur bening, sambal dan kerupuk. Seadanya, tapi sangat berkesan sampai sekarang. Betapapun mereka miskin, tak lupa tetap menjamu orang jauh. Memang disana ada budaya menyediakan makanan untuk tamu jauh. Mereka sangat senang memberi makanan. Makanan mereka itu tak mewah, yang ada dimasak dan enak. Karena aku sering sekali ke daerah lainnya yang sangat terpencil juga demikian, mereka snagat senang jika dikunjungi oleh organisasi kemahasiswaan. Mereka tak menunjukkan rasa kesal atau apa. Kehidupan mereka dengan rumah sangat kecil tapi perlakuan mereka sangat bermakna.

Kalau diingat cerita tentang aktivitas sosial aku dulu masih menyisakan ingatan yang membuat mata berkaca-kaca. Ada keharuan dan perasaan yang tak bisa di ungkapkan dengan lisan. Dari setiap perjalanan aktivitas volunter ini sangat membuka imajinasi dan ruang empati yang sampai sekarang jika ditanya pun, apakah bersedia turun lagi di aktivitas sosial? Sangat bersedia insya Allah, namun dulu belum berkeluarga fisik masih prima, tapi sekarang kalau cek fisik langsung meleyot bayangin agenda sosial yang membutuhkan tenaga yang ga kaleng-kaleng.

Catatan rindu dari seberang lautan. Semoga kamu sudah tumbuh lebih kuat ya Nak…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *