Resep Jamu Leluhur dari Mbah Jogja

Suatu hari di sore hari yang tenang datanglah seorang Mbah-mbah yang menawari ku pisang, seperti biasa. Aku pun duduk bersama Mbah tersebut ngobrol sebentar di teras rumahku ditemani angin sore dan cuaca teduh. Aku pun teringat bahwa sudah lumayan lama tidak pijat dengan beliau. Kalau selepas pijat badanku terasa enak dan segar. Aku pun janjian sore hari berikutnya, saat anak sudah dijemput dari sekolah dan sore adalah waktu tenang menyambut malam.

Beliau memang spesialis langganan untuk pijat capek. Namanya Mbah Warto. Seorang wanita berusia 94 tahun. Ya, dengan usianya beliau masih memijat pelanggannya ke mana-mana. Sambil mengayuh sepeda dan membawa pisang. Mbah Warto sering sekali mampir ke rumah sekedar menawarkan pisang, kadang pisang kepok kadang pisang raja. Aku pun tak bisa menolaknya. Khusus pisang, selain Mbah Warto seringkali ada saja yang menawarkan pisang ke aku, karena mungkin sudah hafal bahwa aku hampir tiap hari menyediakan pisang di rumah.

Mengapa pisang? Bagiku pisang adalah buah yang mudah diolah atau dimakan begitu saja. Kadang olahan pisangnya sekedar di kukus atau dibuat cemilan rumahan yang sederhana. Paling sering mungkin pisang goreng untuk suguhan saat ada tamu. Benar, pisang adalah jalan ninja saat harus menyuguhkan di kala dirumah tidak ada apa-apa. Pisang meskipun sudah kematangan tetap enak di olah menjadi kue baik tradisional maupun modern.

Kembali ke cerita Mbah Warto. Beliau ini pernah bercerita padaku saat aku meminta pijat capek, bahwa beliau tidak pernah menggunakan tambahan bumbu di makanan beliau. Tambahan bumbu misal moto atau sejenis kaldu bubuk buatan pabrik. Aku tertegun memandangnya. Aku tau bahwa marak sekali bumbu penyedap rasa supaya “nendang” dan berpuluh-puluh tahun beliau tidak memakai ini. Satu lagi beliau matanya sehat, tidak minus dan tidak plus. Masih jelas, heu heu heu. Aku rasanya tertampar. Di usia 40 aku berpikir mata plus adalah “normal”, sudah sewajarnya menginjak usia 40 tahun. Tapi nyatanya beliau masih jelas penglihatannya.

Di waktu yang kami sudah janjian, kami melanjutkan obrolan tempo hari. Sambil beliau memijat, beliau dengan tenang bercerita dengan bahasa kromo halus yang terkadang aku paham, kadang pula aku harus mengkonfirmasi balik, benar ga yang dimaksud sama yang di pikiranku. Aku mendengarkan ceritanya dan bertanya-tanya tentang cara membuat cemilan tradisional dan jamu-jamuan rempah. Beliau bercerita bahwa dia selalu minum jamu, dan jamu ini adalah warisan turun temurun dari para leluhurnya. Beliau membuat sendiri hampir sepanjang hidup nya dan terlihat pada badannya yang masih tegak, jalannya masih kuat, sopan santun nya menyentuh. Aku serasa punya Mbah kembali. Aku pernah dibawakan jamu ini sebotol dan jamunya sangat sangat sangat teramat pahit. Untuk menggambarkan rasa pahitnya, aku minum satu madu pun tak bisa menghilangkan rasa pahitnya. Jadi fix jamunya tidak bisa aku lanjutkan, hahaha.

Begitulah orang zaman dahulu, tidak masalah pahit, tak masalah susah jika itu jalan kebaikan. Jamu beliau jalan kebaikan bagi garis atas keturunannya yang di berkahi usia yang panjang hingga lebih dari 100 tahun. Masyaa Allaah luar biasa. Seperti ajaran leluhur dari budaya pengobatan tradisional Nusantara, terutama dari Jawa yang sarat dengan nilai. Jamu pahit simbol dari keperempuanan yang tangguh. Banyak wanita Jawa dulu rutin minum jamu pahitan untuk menjaga tubuh, kulit , dan siklus haid. Mereka dengan sabar, tenang, dan teratur menhadapi pahit getir kehidupan.

Jamu Mbah Warto ini beliau bikin dengan kendil dari tanah liat. Rempah yang dipakai diantaranya ada brotowali, daun kates, tempe bosok, dan masih banyak lagi. Membayangkannya saja pahit apalagi meminumnya. Namun beliau kasi aku resep jamu versi tidak pahit yang beliau sarankan agar aku meminumnya dua kali sepekan. Aku pun disebutkan bahan-bahan yang dipakai. Ada bawang merah dan puyang. Namun aku modifikasi agar ramah lidah dan aku semangat minumnya

Untuk awalan yang mencoba jamu di luar kebiasaan jamu yang rutin aku konsumsi (jamu kunyit asem, beras kencur). Resep di bawah ini tidak dianjurkan saat perut kosong. Bisa diminum 1x sehari selama 3-5 hari berturut-turut untuk rasa pegal.

Ramuan Tradisional: Jamu Puyang & Bawang Merah

Bahan-bahan yang dibutuhkan:

1 ruas lempuyang segar(bisa di ganti lempuyang lain)

3 siung bawang merah mentah

3 siung bawang merah bakar

1 ruas kunyit

1 sdm air jeruk nipis atau asam jawa

1 sdm gula aren cair

Sejumput garam

100 ml air hangat

Cara membuat:

Kupas bawang merah mentah dn bakar bawang merah lainnya. Cuci bersih lempuyang, geprek atau iris tipis. TUmbuk halus semua bahan (bawang merah mentah & matang lempuyang, kunyit. Campur dengan air hangat, garam, jeruk nipis, dan madu/gula aren. Aduk rata. Saring bila ingin hasilnya lebih halus atau bisa langsung diminum selagi hangat.

Manfaat Tradisional:

Puyang: Mengatasi nyeri otot, memperlancar pencernaan, detoks alami
Bawang merah mentah: antibakteri, menghangatkan tubuh, melancarkan peredaran darah.
Bawang merah matang: mengurangi bau menyengat, menyeimbangkan efek mentah
Jeruk nipis/asam: membersihkan darah, mempercepat penyerapan zat aktif
Madu/gula aren: menambah energi dan rasa manis alami

Gimana? Sudah membayangkan rasanya? Hehe. Tentu saja budaya jamu ini perlu di lanjutkan oleh kita para ibu yang mencintai diri dan keluarganya. Setidaknya kita usahakan diri kita sehat. Jangan terbiasa minum obat-obatan pabrik. Insya Allah dari alam untuk kita para ibu pejuang.

Jamu pahitan mengajarkan pada kita arti kesadaran diri, keseimbangan hidup, dan ketabahan menghadapi
rasa pahit dalam kehidupan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *