
Hidup bukan garis lurus, tapi seperti spiral. Kita datang ke pelajaran yang sama lagi dan lagi, tetapi dari tingkat yang lebih dalam -Anonymous Wisdom
Aku pernah merasakan beberapa kali momen reflektif kehidupan atau kita sering menyebutnya titik balik dalam kehidupan. Dan fase ini biasanya terasa “menyakitkan” dan kebingungan. Kalau melihat lagi ke dalam jiwa ada momen di mana titik balik ini sering mengubah struktur jiwa kita. Suka tak suka ada mental yang terbentuk, ada karakter dan laku yang terbentuk. Titik balik ibarat sebuah pintu kesadaran terbuka yang membuat kita “tersentak bangun” lalu mengejar pencerahan jiwa dan pemikiran. Secara teori ketika kita mengalami titik balik kita akan memasuki proses batin yang disebut oleh William Bridges adalah transisi. Dalam buku Transitions: Making Sense of Life’s Changes, bahwa hidup terdiri dari siklus trasnsisi: Ending-Neutral Zone-New Beginning. Bahkan saat sudah di permulaan baru akan datang transisi berikutnya.
Tahun 2008: Pencarian Identitas
Dulu aku berpikir setelah menikah maka tugas berikutnya adalah mapan secara ekonomi. Dikarenakan aku adalah wanita perantau maka ada target produktivitas dalam wujud penghasilan yang stabil. Awal-awal berpisah dari keluarga ada perasaan cemas, khawatir, dan “hilang”, maka responku saat itu adalah bagaimana agar keuangan keluarga bisa lebih, agar saat aku ingin pulang kampung sewaktu-waktu aku ada dananya, ha ha. Tak berpikir panjang gimana untuk masa depan dan proyeksi keuangan. Intinya aku bisa pulang.
Dari tekad inilah aku tak tinggal diam, setelah menikah aku dan suami memilih jalur wirausaha. Hingga aku pun terlena menjalani identitasku sebagai wanita wirausaha. Bersama suami yang sudah terlebih dahulu meniti jalur internet marketing, maka aku pun ikut menjadi staff suami, hehe. Namun karena dulu aku juga suka berjejaring maka aku menjalani bisnis online dan juga offline, dari cari dagangan hingga keluar kota, ikut pameran, sampai ikut komunitas sana-sini. Waktu itu sudah ada anak satu. Jadi sejak 2008 aku sudah full time mother atau mom work at home (lumayan visioner kan ya):D
Karena kehidupan didominasi dengan akses internet yang saat itu masih sedikit yang menekuni profesi ini, sedikitnya aku juga sering mencari ilmu pengasuhan dan pendidikan buat anak. Bahkan saat anak pertama usia 4 tahun, aku dan beberapa teman membuat PAUD di halaman pekarangan tanah yang suami beli tak jauh dari rumah.
Tahun 2016: Pergeseran Identitas
Ini lah yang terjadi di tahun ini. Anakku homeschooling, dan aku mulai meninggalkan komunitas bisnis, mulai berganti lingkaran sosial. Meskipun masih menjalani usaha, totally aku fokus kepada komunitas parenting. Komunitas yang paling aku seriusi adalah Ibu Profesional dan ikut pembelajaran di Rumah Inspirasi, Piwulang Becik, dan beberapa komunitas parenting berbasis Islami. Lalu sampai sekarang masih sambil terus mencari dan belajar. Di fase transisi ini seringkali aku mengalami “nightmare”, tengah malam terbangun tiba-tiba hanya karena aku khawatir pilihan anak homescholling adalah salah. Fase ini aku merasa lelah, bingung, rapuh, membaca, menangis, mencoba lagi tapi pelan namun ada cahaya aku menemukan aku versi yang baru. Menikmati peran mendampingi anak. Meski tak ideal dan masih merasa tak cukup baik menjadi partner belajar anak. Namun, kami sekeluarga menghargai proses yang tak mudah ini. Kami bersyukur kami berani.
Seiring waktu, arah hidup aku dan suami serta cara berpikir kami mulai berbeda. Ada tugas dan misi yang harus dijalankan untuk menjadi teladan yang baik buat anak. Ada nilai-nilai pendidikan yang membuat aku berkejaran belajar caranya belajar. Menanamkan tradisi belajar, dan mendidik dalam kehidupan sehari-hari, serta belajar di komunitas yang memaknai ulang dalam memandang kehidupan dan pembelajaran.
Sekarang: Memilih Hidup yang Bermakna
Sampai sekarang aku merasa saat tahun 2016 itulah fase aku belajar cara baru menjadi ibu kembali dengan sudut pandang yang berbeda dalam proses mendidik anak, misi hidup, dan makna keluarga. Menyadari peran Ibu yang tak sekedar Ibu biologi, namun ada pertumbuhan spiritualitas dalam proses “perjalanan pulang” untuk menemui kehidupan yang lebih bermakna. Tugasku kini pun bergeser menjadi misi mewariskan kehidupan untuk anak-anak. Lalu, mengajak anak-anak berani berproses atas luka kehidupan yang normal terjadi, berani untuk berubah ke versi terbaru, lalu berani menikmati proses berulang di siklus transisi berikutnya. Satu hal yang pasti, tetaplah bersama Allah.