Tradisi para Wanita Minangkabau Tempo Doeloe

“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adat berdasar syariat, dan syariat bersumber dari Al-Qur’an”

Berbicara tentang tradisi tak terpisah dari akar budaya daerah tersebut. Bicara tradisi dan kebiasaan bukan pula memisahkan antara kehidupan dan agama. Justru adanya Agama menjadi penguat martabat sebuah tradisi dan kebiasaan baik. Tradisi ini pun bertujuan sampai pada tujuan Agama. Hidup berdampingan saling mendukung.

Minangkabau merupakan simbol kentalnya tradisi Islam di daerah sana. Banyak lahir para Ulama dan pejuang dari Minangkabau. Sebut saja Tuanku Imam Bonjol, Buya Hamka, M.Yamin, Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahmah Al-Yunusiyah, dan masih banyak lagi.

Aku pernah membaca, dimana kuatnya karakter mereka karena lahir dari rahim Surau dan Madrasah. Minangkabau juga banyak mengirim putra-putrinya berjuang di era kemerdekaan. Dibalik ini semua, aku pun meyakini ada sosok wanita yang tulus menggerakkan dan mengalirkan doa tak terputus untuk generasi sebagai bentuk dukungan akan proses pengajaran Islam di Minangkabau.

Hal yang utama dari Minangkabau adalah berpusat di Surau, sebuah tempat mengaji, belajar silat, bermusyawarah, hingga melatih kepemimpinan. Peran wanita di Minangkabau tak lelah mengajarkan adab dan agama pada anak-anak mereka. Bahkan masakan khas mereka hingga saat ini pun menjadi warisan kuliner nusantara. Sungguh barokahnya ketulusan mereka.

Inilah Tradisi Wanita Islam Minangkabau tempo dulu:

  1. Mengajar Mengaji di Rumah atau Surau. Mereka menjadikan rumah-rumah dan surau untuk belajar mengajar Al-Qur’an. Tak lupa mengajarkan do’a dan surah pendek. Ibu-Ibu Minangkabau banyak yang menghafal surah-surah Al-Qur’an.

  2. Menjaga pakaian anak-anak tetap sopan. Penggunaan sarung, baju kurung, dan tengkuluk (penutup kepala)

  3. Maanta Pabukoan. Mengantar makanan untuk berbuka puasa dikala Ramadhan. Ini tak sekedar menyediakan ta’jil semata, namun tiupan spiritual untuk penghormatan guru ngaji, ilmu dan ibadah.

  4. Memasak sambil bersholawat dan membaca ayat suci. Agar makanan memiliki keberkahan bagi yang menyantapnya.

  5. Menghafal dan mewariskan amalan do’a keseharian. Ajaran ini biasanya disisipkan lewat nyanyian, petatah petitih dan dongeng

  6. Penjaga kisah dan hikmah. Bundo Kanduang akan membacakan kisah para nabi, para wali Allah kepada anak cucu, mereka melakukannya sambil menampi beras, maupun menenun sebelum tidur.

  7. Mendampingi anak laki-laki belajar di surau. Merekalah yang menyiapkan keperluan, perlengkapan dan mendidik adab. Mereka pun memilih guru ngaji terbaik.

  8. Adanya kumpulan madrasah kaum ibu. Kelompok ini sudah ada sejak abad 19. Mereka belajar Tajwid, tafsir dasar, fiqih perempuan dan akhlak keluarga.

List ini bukan tentang ingin kembali ke masa lampau, tapi rindu belajar dari orang-orang terdahulu agar kembali ke akar. Agar saat akar kuat, tak mudah tumbang. Karena hidup di masa digital begitu tsunami maka falsafah hidup perlu di junjung. Hidup tak hanya untuk diri sendiri, ada warisan nilai yang perlu di teruskan untuk generasi. Seperti kata pepatah:

Adat dijunjung, syarak dipakai, pusako dipelihara, budi disubangkan. Adat dihormati, agama dijalankan, warisan dijaga, akhlaq disebarkan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *